[Cerpen] Mengapa Kemalangan Menghujani Nasibmu?
Mengapa Kemalangan Menghujani Nasibmu?
Oleh: Adhelia Putri Chandra P.
***
Aroma kotoran begitu menyengat ke dalam indra penciuman saat jendela kos tiga petak yang kutempati sejak dua bulan lalu terbuka. Ia beradu dengan aroma selokan dan sampah yang menggunung di depan sana. Sayup-sayup terdengar suara tetangga sebelah yang tengah asik membangunkan anaknya sembari sedikit mengomel. Ditambah dengan racauan ibu-ibu berusia enam puluh tahunan yang terus mengeluhkan kakinya.
“Ah pagi yang kacau,” pikirku.
Aku yang biasa tinggal di perumahan asri, bersih, dan penuh ketenangan, tentu merasa tak nyaman berada di tempat ini. Jika bukan karena tempat ini adalah tempat terdekat yang masih punya slot kosong, mungkin aku juga tak akan singgah di sini untuk sementara.
Bagaimana tidak? Setiap pagi, aku harus menghirup aroma kotoran kucing dan kotoran ayam yang berserakan di deretan kos. Ditambah dengan sampah yang menggunung dan banyak dihinggapi lalat. Masyarakat di sini juga memiliki kebiasaan buruk, yang sangat tidak cocok untukku.
“Ngelamun aja pagi-pagi, Len! Ntar kesambet!” Aku tersentak saat suara itu terdengar. Itu adalah suara Chacha—gadis seumuranku yang menempati salah satu kos di sini bersama keluarganya.
Berdasarkan cerita Chacha tempo lalu, ia sekeluarga tinggal di sini karena terpaksa. Papa sambungnya mengalami kerugian di Jawa, lalu memutuskan merantau kemari sebab diiming-iming gaji besar. Namun, bukannya mendapat pekerjaan layak, orang tua Chacha sempat menganggur selama sebulan, hingga mau tak mau mereka harus menumpang dulu di rumah petak Bu Tina yang masih ada hubungan saudara. Setelah kedua orang tuanya bekerja, barulah mereka menempati salah satu kos tiga petak di sini untuk sementara sampai menemukan kontrakan yang lebih layak.
“Iya, nih, Cha. Mau siap-siap kerja, tapi mager!” sahutku. Chacha hanya ber-oh ria sebagai jawaban. Kulihat ia mulai membersihkan halaman kos yang ditempati. Sedangkan aku memutuskan untuk bersiap-siap ke kantor.
***
“Teh, itu si Mamanya Chacha udah bayar kosan belum? Pak Darjo nagih nih ke gue.” Baru saja aku menapakkan kaki di pelataran kos, suara Teh Diana terdengar. Ia merupakan adik dari Bu Tina yang juga tangan kanan pemilik kos ini. Seusai membayar sejumlah uang kepada Bapak Ojol yang mengantar pulang, aku memutuskan untuk langsung berjalan ke arah kamar kosku sembari sesekali menyimak percakapan kakak dan adik itu.
“Belum. Katanya akhir bulan, dia belum gajian.” Begitulah kira-kira jawaban dari Bu Tina yang kudengar.
“Ah, apaan. Orang kemarin habis belanja bulanan, kok. Lagian itu si Chacha juga tiap hari ke ATM, duit dari siapa coba kalau bukan dari Mamanya, 'kan dia enggak kerja. Jadi, ya jelas Mamanya tuh ada duit.” Aku menggeleng pelan mendengar sahutan dari Bu Rasmi—salah satu tetangga kos yang tinggal tepat di sebelah kamar Chacha.
“Bener, tuh! Tiap hari aja dia jajan, kok. Udah mah cicilan motor telat mulu, sekarang bayar kosan juga telat!” Kali ini suara Teh Diana yang terdengar. Aku merasa miris. Usia Teh Diana tidak terpaut jauh dengan usiaku dan Chacha. Kurasa, anak-anak seumuran kami tengah gencar-gencarnya mengejar karir dan memperbanyak skill. Bukan ikut bergosip ria bersama ibu-ibu.
Sepertinya memang benar ungkapan para ilmuwan yang mengatakan bahwa lingkungan sangat berpengaruh pada kebiasaan dan perkembangan. Mungkin itulah yang terjadi pada Teh Diana. Seperti yang sudah kukatakan, lingkungan di sini sangat buruk. Anak muda sepertiku biasa menyebutnya dengan lingkungan toxic.
Pernah suatu ketika, seorang ibu-ibu berusia sekitar empat puluh tahunan berbicara tentang keburukan orang lain sembari mengeluarkan air mata, merasa terluka, dan hidupnya susah. Tak sampai di situ, ia juga menghasutku untuk ikut berkomentar. Namun, aku menolak sebab keburukan orang bukan urusanku.
Mengingat kejadian itu, membuat pesan ibu terbelesit kembali. Beliau berkata, “Nduk, nanti saat kamu sudah dewasa, lalu menemukan banyak kesulitan dan kemalangan dalam hidup. Maka hal pertama yang harus kamu tanyai adalah dirimu, hal pertama yang harus kamu perbaiki adalah dirimu. Bukan fokus kepada kesalahan orang lain yang mungkin menyebalkan, tapi fokuslah pada diri sendiri. Barangkali, ada dari ucapan atau sikap yang tidak sengaja membuat orang lain sakit hati lalu mendoakan keburukan untukmu.”
Ah, ya, aku pun pernah membaca buku tentang filosofi kehidupan. Pada buku itu tertulis bahwa kemalangan yang terus menimpa nasib seseorang, bisa jadi merupakan bentuk nyata dari apa yang ia pikirkan. Artinya, seseorang yang selalu berpikir dan merasa hidupnya buruk, penuh luka, selalu didzalimi, dan terus ditimpa kemalangan, berarti ia tengah memberikan atmosfer demikian kepada hidupnya. Di buku itu juga dijelaskan bahwa filsuf lain yang lebih agamis mengatakan jika seseorang hidupnya dipenuhi kemiskinan, bisa jadi Tuhan tengah menguji atau menegurnya. Sayangnya, sebagian dari mereka hanya berpikir bahwa kemiskinan adalah nasib dan ujian, bukan teguran.
Aku merasa bahwa pesan ibu dan apa yang ada dalam buku filosofi tersebut benar. Dua bulan yang lalu, saat melihat kehidupan di sini, jujur saja aku meletakkan simpati pada keluarga Bu Tina, Bu Rasmi, dan Teh Diana. Sebab, kulihat mereka sepertinya terus dirundungi nasib buruk. Bu Rasmi hanya ibu rumah tangga yang suaminya hanya seorang driver ojol, Bu Tina hanyalah ART, dan Teh Diana hanya seorang karyawan di salah satu pom bensin milik swasta. Gajinya tidak bisa disebut layak padahal ia lulusan SMK. Pernah kudengar juga cerita dari Ibu Teh Diana, bahwa ia gagal masuk kuliah karena tak ada biaya.
Namun, saat ini aku memahami mengapa taraf hidup mereka segini-segini saja. Padahal teknologi sudah berkembang, untuk mempelajari keahlian khusus tidak lagi perlu bersulit-sulit seperti zaman Ibuku muda. Mencari pekerjaan juga tak perlu lelah menulis lamaran dan pergi ke sana-ke mari. Cukup membuat daftat riwayat hidup, lalu mengirimnya melalui email, whatsapp, linkedin, jobstreet, dan sebagainya. Namun, mereka tidak melakukan demikian. Bukannya menghabiskan waktu untuk belajar hal baru atau mencari pekerjaan yang lebih layak melalui teknologi—mereka malah menghabiskan waktu untuk menggosip dan mengeluhkan beratnya hidup.
Saat mendengar cerita dari Ibu Teh Diana, aku berpikir keras, padahal ‘kan ada banyak jalan menuju roma. Biaya bukan hambatan untuk melanjutkan pendidikan. Informasi beasiswa dan kampus yang membuka pendaftaran kelas karyawan terpampang nyata di sosial media. Teh Diana bisa mengakses dan mengikuti seleksi itu kapan pun bila dia mau. Sedangkan Teh Diana, alih-alih menghabiskan waktu luang untuk mencari informasi mengenai kuliah, ia justru menghabiskan waktu luangnya untuk bermain game online di ponsel, atau ikut menggibah bersama Bu Tina dan Bu Rasmi.
“Kak Elen, awas!” Sebuah suara berhasil membuatku berjingkat. Itu suara Fila—anak Bu Rasmi—yang tengah bermain sepeda. Untung saja aku dengan cepat menghindar sehingga tidak tertabrak.
“Huh, untung saja,” ujarku mengelus dada.
“Baru pulang kerja, Len?” tanya Teh Diana tanpa beranjak dari tempatnya duduk.
“Iya, Teh,” jawabku seadanya.
“Sini deh, Len, kumpul-kumpul dulu biar kenal.” Kini berganti Bu Tina yang berbicara. Ia melambaikan tangan seraya memintaku menghampirinya.
“Enggak, ah, Tante. Saya masih harus beberes sama ngerjain kerjaan kantor yang belum kelar,” tolakku.
Jujur saja, aku berharap malaikat tidak mencatat kebohongan kali ini sebagai dosa. Sebab, sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Aku hanya malas harus berkumpul bersama mereka. Lagi pula, berbohong demi kebaikan itu tidak salah, bukan?
“Ah, lo mah, beberes sama sibuk mulu. Kayak sebelah,” sindir Teh Diana.
***
Malam ini, suasana di deretan kos sedikit ramai. Suara barang-barang yang dipindahkan beradu dengan suara anak-anak yang tengah bermain di luar. Aku yang tengah berkutat dengan drama korea di layar laptop merasa terganggu. Belum lagi ponsel yang terus berdering memberi tanda pesan masuk berulang kali.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Aku yang setengah mengantuk, memutuskan menekan tombol pause di laptop, lalu beranjak keluar. Sudah kuduga, pasti Chacha. Ya, kami memang sering kali mengobrol di waktu luang seperti sekarang. Mulai dari membicarakan politik, fashion yang sedang populer, berita tentang banjir, kebakaran, hingga kemarau yang berkepanjangan. Namun, kali ini Chacha terlihat berbeda. Ia menenteng sebuah tas ransel di punggung dan satu tas selempang di pundak.
“Mau ke mana lu, Cha?” tanyaku mengeluarkan kebingungan.
“Gue mau pindah. Orang tua gue udah gak sanggup tinggal di sini,” jawabnya.
Aku kaget mendengar ucapan itu. Memang, beberapa tempo lalu, Chacha sempat menceritakan konflik yang terjadi antara keluarganya dan keluarga Bu Tina. Ia juga sempat bilang bahwa mereka akan segera pindah, Mamanya tengah mencari kontrakan yang lebih layak. Namun, kupikir tidak secepat ini.
“Lah, dadakan banget!” ujarku sedikit berteriak karena suasana yang ramai.
“Iya. Mama tadi dapat kontrakan jadi langsung beres-beres terus ini mau berangkat. Ntar gue sharelock ya alamatnya, main-main gih ke sana,” balas Chacha ramah.
“Oh gitu, okey deh! Doain gue segera dapet kontrakan, ya! Udah gak betah nih,” ujarku sembari mengibaskan tangan.
“Hahaha. Siap, Bos! Nanti kalau ada info gue kabarin. Gue duluan, ya!” pamit Chacha seraya melambaikan tangan.
Aku tersenyum dan melambai balik sebagai balasan. Setelah kulihat tubuh Chacha dan keluarganya hilang dari pandangan, aku segera masuk kembali ke dalam kos. Pintu sengaja kubuka agar sirkulasi udara membaik dan mengurangi sedikit rasa gerah di dalam. Laptop yang sedari tadi menyala segera kumatikan.
Pandanganku beralih pada ponsel yang tergeletak sejak aku pulang kerja. Seperti dugaan, banyak sekali notifikasi yang masuk. Setelah merasa tidak ada pesan penting, aku kembali meletakkan ponsel itu di nakas.
“Lah si Chacha sama keluarganya pindah, terus gimana dong angsuran motor? Itu ‘kan atas nama gue. Entar kalau preman penagih dealer dateng gue mesti gimana?” Sayup-sayup kudengar suara Bu Tina dari dalam kamar. Aku sedikit mengintip ke arah luar. Ternyata, Bu Tina dan Teh Diana tengah duduk di depan sana.
“Udah, Teh, sabar. Mereka mah emang jahat,” cibir Teh Diana.
Jujur saja, aku kasihan pada Bu Tina. Namun, aku lebih kasihan pada Chacha dan keluarga. Sebab, setelah dua bulan tinggal di sini, mengamati sekitar, dan mendengar cerita Chacha, aku tahu benar masalah yang terjadi antara Mama Chacha dan Bu Tina. Sebenarnya, masalah yang terjadi hanya salah paham kecil, tapi menjadi keruh sebab Bu Tina yang selalu bercerita ke sana ke sini, dengan melebihkan cerita.
Pernah sekali, aku tengah mengobrol dengan Chacha. Saat itu, kami tengah mendiskusikan tentang keputusan MK yang diubah untuk bisa meloloskan keponakannya menjadi cawapres. Tiba-tiba Bu Tina ke rumah dan memberi kami empat buah donat yang ia letakkan di piring. Namun, keesokan paginya tanpa sengaja kudengar ia bercerita pada ibu-ibu di sana, bahwa Chacha meminta dibelikan donat.
Pernah juga, saat itu aku tengah menjemur pakaian. Tanpa sengaja melihat Bu Tina membelikan tiga botol milku untuk anak-anak. Dua untuk anaknya dan satu untuk adik Chacha. Namun, sore harinya, tak sengaja kudengar ia bercerita pada Bu Rasmi bahwa ia membeli jajan sekarang harus tiga.
Ah, aku bergidik ngeri jika mengingat kejadian itu. Sekelibat pesan Abah kembali memenuhi pikiranku. Saat itu, sehari tepat sebelum aku berangkat merantau, Abah berkata, “Len, nanti di perantauan jangan lupa jaga lisan, ya. Enggak sekadar jaga buat enggak ngomong kasar atau ngehina orang, tapi juga jaga lisan buat enggak bicara yang buruk dan menyebar fitnah.”
Kring ….
Dering ponsel berhasil membuyarkan lamunanku. Segera aku berjalan ke arah kasur, lalu mengambil ponsel yang tergeletak. Ternyata Arka—kekasihku menelepon.
“Hallo, Tuan Putri,” sapanya dari seberang sana.
“Hai. Maaf, agak lama. Aku barusan selesai nyapu.” Begitulah aku membalas dengan alibi agar dia tidak marah.
“Tidak masalah. Everything for you, Baby.” Ah, sial! Arka selalu tahu cara membuatku blushing dan salah tingkah meski hanya melalui telepon.
“Ngomong-ngomong aku baru saja dari rumahmu. Ibu masak ayam pedas kesukaanmu, lho. Sepertinya dia rindu,” lanjut Arka.
Aku berdeham sebagai jawaban. Jujur saja, aku juga rindu pada Ibu dan Abah. Sudah tiga hari ini kami tidak saling berkabar. Mungkin, Ibu dan Abah tengah sibuk dengan toko mereka sehingga sulit sekali untuk mengangkat telepon.
“Aku juga rindu Ibu dan Abah,” ujarku lirih.
“Makanya pulang!” jawab Arka, “ah, ya, ada cerita apa hari ini, Tuan Putri?” lanjutnya.
Aku pun mulai bercerita tentang apa yang terjadi di sini. Mulai dari kondisi kosku, Teh Diana, Bu Tina, dan Bu Rasmi yang menghabiskan sepanjang hari dengan menggosip, keluhan Bu Tina akan biaya sekolah anaknya, hingga Chacha sekeluarga yang pindah dari sini. Tak lupa kusertakan sumpah serapah pertanda kegeramanku di sini.
“Bulan depan aku ke sana. Kita cari kos biar kamu segera pindah. Takutnya kamu makin ketularan.” Hanya itulah kalimat yang diberikan Arka sebagai tanggapan dari ceritaku. Aku mengernyitkan dahi penuh kebingungan. Apa maksudnya ketularan? Apakah mungkin menurut Arka aku sudah mulai ikut-ikutan suka menggosip, membicarakan keburukan orang, dan ikut campur permasalahan orang?
***
TAMAT
Komentar
Posting Komentar