[Cerpen] Musnah
Musnah
Oleh: Adhelia Putri Chandra P.
***
Tinggal di kota metropolitan memang tidak terlalu buruk bagi penikmat malam sepertiku. Gemerlap kota terus menyala, menghias gedung pencakar langit yang berdiri tegak di setiap sisi. Ia berpadu dengan lampu kecil milik pedagang kaki lima yang mangkal di pinggir jalan dan kedai angkringan yang menyajikan menu nikmat di trotoar. Mereka seperti memberi keberanian dan rasa aman tersendiri bagi siapa saja yang hendak keluar malam sendirian. Belum lagi hiruk-pikuk kendaraan yang tak pernah tidur, meski jam menandakan bahwa penghujung malam telah tiba.
Alun-alun kota adalah destinasi yang kupilih untuk menikmati malam kali ini. Ditemani segelas cappucino dan seporsi bakaran yang kupesan dari angkringan milik Mang Ujang, aku menyaksikan lalu lalang manusia yang tak pernah mati. Sesekali, aku mengingat kita sebagai sesuatu yang telah hilang di sudut kota. Entah siapa yang salah, siapa yang membuang, siapa yang menyudahinya. Aku tak tahu.
“Jangan hubungi aku dulu.” Kalimat itu terus terngiang sejak hari di mana kita bertengkar hebat. Itu adalah kalimat terakhir darimu sebelum pada akhirnya kita tidak bicara lagi. Rasa sakit yang memenuhi dada, seolah memenggal keinginanku untuk memulai percakapan terlebih dahulu. Entah itu sekadar bertanya kabar, meminta maaf, atau bahkan mendiskusikan masalah yang ada. Tidak. Bukan karena marah, hanya saja aku masih tidak menyangka semua ini akan terjadi.
Aku meneguk segelas cappucino yang telah mendingin sebab didiamkan hampir satu jam. Suhu udara Kota Bekasi malam ini sedikit lebih rendah dari biasanya. Mungkin karena hujan sejak subuh tadi. Ah, tapi persetan dengan itu. Aku tetap menikmatinya.
“Mang, tambah nasi bakar, dong!” ujarku pada Mang Ujang yang sepertinya tengah asyik melayani pembeli lainnya. Mang Ujang mengangguk sembari mengacungkan jempol sebagai jawaban.
Sejenak, mataku menangkap dua orang yang tengah asyik bercanda di sudut sana. Mereka terlihat riang dan begitu bahagia dengan semangkok bakso dan segelas es kepala muda. Sesekali gema tawa mereka menelisik telinga. Sepertinya mereka sepasang kekasih yang tengah merayakan malam minggunya seperti kita dulu.
Jujur saja, aku merindukan saat-saat itu. Saat di mana engkau membelaiku lembut, saat kedua sudut bibirmu terangkat, membentuk lekung yang sampai hari ini menjadi favoritku. Saat itu, kedua sudut matamu masih berbinar indah. Tatapanmu begitu teduh, hingga aku terperangkap di dalamnya. Tak ada ego yang menggebu, apalagi hinaan dan cacian yang mengitari isi kepala kita.
“Aku mencintaimu. Maukah kamu menerima cintaku?” Begitulah engkau membisikkannya. Aku mengangguk mengiyakan. Degup jantungku berpacu kuat saat itu. Bayangan akan bangunan megah berupa istana cinta di awang-awang tampak di kedua bola mata kita. Ia menyatu dengan senyum manis yang tersuguh melalui bibir ranummu. Ah, membahagiakan sekali saat itu.
Aku ingat, saat pertama kali kau mengajakku berkencan. Hujan turun deras di Kota Malang hari itu. Namun, kita tetap nekat berangkat. Di jok penumpang, aku bertingkah layaknya anak-anak yang baru bermain air hujan, sampai-sampai jas hujan milikku robek. Sedangkan engkau tertawa kecil, menunjukkan deretan gigimu. Sesekali kau menggeleng pelan melihat berapa aktifnya aku.
“Ayang, jas hujanku sobek!” Begitulah rengekku saat engkau tengah fokus membelah hujan di jalanan Kota Malang. Banjir yang hampir mencapai kenalpot dan mesin motor, membuatmu sedikit lebih berkonsentrasi dan hati-hati dari biasanya. Namun, aku terus merengek sebab hujan berhasil mencuri masuk membasahi kaos lengan panjang yang aku kenakan.
“Kok bisa, Tuan Putri?” tanyamu lembut.
“Tadi aku nadahin air terus tiba-tiba dia sobek,” jawabku dengan nada sedikit memelas sebab takut kau marah.
Namun, di luar dugaanku. Kau tidak marah. Aku justru melihatmu tertawa kecil sembari menggelengkan kepala dari kaca spion.
“Makanya, hati-hati. Banyak tingkah sih.” Hanya kalimat itu yang kauucapkan sebagai balasan. Kemudian, engkau kembali fokus pada jalanan sebelum membelokkan setang motor ke arah pelataran toko swalayan. Aku kebingungan dan tentu saja bertanya-tanya, mengapa engkau membawaku ke mari.
“Sini tukeran sama punya Mas, biar Tuan Putriku gak kedinginan kena air hujan,” ujarmu
“Woi, Neng! Nih, nasi bakarnya. Ngelamun mulu!” Suara Mang Ujang berhasil membawaku kembali ke alam kesadaran. Aku menoleh ke arahnya. Entah sudah berapa lama dia berdiri di sebelahku sembari membawa seporsi nasi bakar yang kupesan. Tanpa menunggu lama, lekas aku mengambil nasi bakar dari tangannya.
“Terima kasih, Mang,” ujarku pelan.
“Sama-sama. Lain kali jangan ngelamun mulu lo. Ntar kesambet tahu rasa.” Setelah mengucapkan itu, Mang Ujang lekas kembali ke gerobaknya. Suasana angkringan malam ini cukup ramai. Mungkin laki-laki yang usianya hanya terpaut lima tahun dariku itu—tengah sibuk melayani pelanggan yang terus berdatangan.
Aku melempar pandanganku ke arah jalanan. Memang benar, Jabodetabek tidak pernah tidur. Saat ini jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 22.35 WIB, tapi kendaraan masih berlalu lalang. Bahkan, jalanan di depan alun-alun Kota Bekasi ini masih menunjukkan deretan kemacetan. Ah, andai saja kita menikmatinya bersama, sepertinya neon yang menghias gedung pencakar langit di sisi sana akan terlihat lebih indah. Namun, sudahlah. Aku tak ingin berlama-lama memikirkan hal yang mampu merusak suasana hati. Aku mengalihkan pandangan pada seporsi nasi bakar yang masih mengeluarkan uap panas. Ia terlihat begitu nikmat hingga cacing di perut terbangun dan membunyikan drum. Lekas, aku melihatnya sampai habis tak bersisa.
***
“Setidaknya dengarkan aku, Mas!” Aku berteriak seperti orang gila di taman kota ini. Udara kota Bekasi yang panas siang ini, sepertinya berhasil membakar ego kita.
“Untuk apa aku mendengarmu? Sedangkan aku hanya memintamu berjilbab, tapi tidak kamu lakukan!” Suara beratmu berhasil masuk dengan sempurna ke dalam inti telingaku. Setiap kalimatnya begitu menohok, menusuk dada lalu menghancurkan tulang rusuk. Aku terdiam, tak sanggup membalas setiap ucapan yang kau lontarkan. Entah sudah berapa lama kita bercekcok—beradu mulut dan argumen dalam debat kusir dengan tema cinta—di taman kota yang lumayan sepi.
“Kau tidak tahu, bagaimana fantasi laki-laki memandangmu. Kau jadi tontonan gratis mereka, Del!” Lagi-lagi kalimatmu terdengar. Aku masih setia terdiam dan mendengar. Sesekali aku mencoba meredam kemarahan—berharap pertengkaran ini usai dan kita bisa saling memaafkan.
“Berhijab atau tidak itu hakku. Berhijab atau tidak itu tidak berpengaruh pada hubungan kita. Namun, dengan tidak memberiku waktu untuk sekadar bicara, diam saat marah, dan tidak peduli pada sakit hatiku, kau sudah membuat keretakan pada hubungan ini,” elakku.
“Memang, tapi kau begitu berharga. Aku tidak suka laki-laki memandangmu telanjang.” Kini nada suaramu terdengar memelan. Namun, entah mengapa kemarahanku tiba-tiba tidak terbendung. Apalagi mengingat bagaimana Ibumu memaki semalam. Ditambah dengan ingatan-ingatan tentang hal buruk terjadi pada hubungan kita. Termasuk fitnah dan sindiran yang dilempar Ayahmu padaku di sosial media.
“Katanya bukan perempuan murahan. Tapi aurat diumbar-umbar,” sindirmu.
“Jaga ucapanmu, Mas! Perempuan berhijab yang jual diri di luar sana banyak. Aku memang tidak berhijab tapi aku tidak murahan. Pakaianku tidak terbuka! Aku juga tidak mudah didekati.” Kini aku mulai membalasmu. Tidak lagi memelas seperti sebelumnya. Engkau pun tersentak mendengar nada bicaraku yang kembali meninggi.
“Ibumu yang bilang aku perempuan gak baik, gak bener, ngerusak anak orang, dan sebagainya, dia saja selingkuh dari Ayahmu hanya demi urusan ranjang yang tidak terpuaskan. Kamu bilang aku murahan hanya karena tidak berjilbab. Kalau aku murahan hanya karena tidak berjilbab, lalu disebut apa Ibumu yang selingkuh demi nafsu?!”
Aku semakin berapi-api. Apalagi mengingat semua perlakuan buruk keluargamu yang bukan hanya menghinaku, tapi juga merusak nama baikku. Aku bahkan tak segan membuka aib dan masa lalu Ibumu. Persetan dengan pendapat orang. Mau mereka bilang aku tak punya adab, atau mau mereka menuduhku membuka aib orang yang lebih tua. Aku tak peduli. Di pikiranku saat ini hanyalah membalaskan rasa sakit. Setidaknya malu sebab fitnah yang dibuat Ibumu dan sakit sebab kata-kata kasarmu terbalas.
“Hei, jangan keterlaluan!” titahmu.
“Apa kamu pikir Ibumu, Ayahmu, dan kamu tidak keterlaluan? Sama! Ibumu menceritakan kesalahan dan aibku tanpa cerita lengkap. Ia menutupi salahmu di sana tapi mengumbar burukku dengan bumbu. Lalu, Ayahmu menyindirku di sosial media. Dan sekarang kamu menghinaku hanya karena aku tidak mau berjilbab. Kamu pikir kalian tidak keterlaluan?” Aku menjabarkan semua yang terjadi. Entahlah. Aku sungguh muak. Rasanya begitu sakit teringat semuanya. Apalagi, selama ini aku memendam semua itu seorang diri.
“Del, aku meninggalkan karirku di Jawa demi kamu. Aku menentang Ibuku demi kamu. Dan seperti ini balasannya?” tanyamu.
“Seperti ini bagaimana? Aku memberimu kesetiaan, cinta, kebaikan, ketulusan, kesabaran. Aku menunggumu setiap saat untuk pulang. Tapi apa? Malam itu kamu memilih mengobrol dengan teman perempuan lamamu dibanding aku. Kamu memilih menghabiskan waktu dengan teman kerjamu dibanding aku. Lalu, sekarang mengataiku murahan. Dan masih berharap balasan yang baik?” Aku menatap matamu. Tatapanmu begitu berbeda dari tatapan teduh yang biasa kulihat.
“Maaf, Mas. Aku bisa saja diam bila kamu marah lalu tidak menghiraukan aku. Namun, aku tidak bisa diam bila harga diriku dijatuhkan,” lirihku penuh penegasan.
Terlihat engkau meremas rambut. Tatapan matamu berubah jadi nanar. Air mata mengalir di sana. Begitu pun aku. Entah sudah berapa tetes air mata yang jatuh di setiap kalimat yang terucap. Aku tak mampu berbohong bahwa aku pun sakit bila harus semarah ini padamu.
“Baiklah. Kalau memang caraku menyayangimu sudah tak lagi seperti yang kamu mau, dan jalan untuk bersama tak lagi terlihat. Lebih baik kita akhiri saja.” Ah, sial. Kalimat itu berhasil membuatku seperti tersambar petir di siang bolong. Bibirku mendadak kelu. Badanku kaku. Hingga tanpa aku sadari, kau telah berbalik arah dan meninggalkanku seorang diri.
Ingin sekali rasanya, aku berlari mengejarmu. Namun entah kenapa, tubuhku begitu lemas. Kakiku seperti diikat oleh rantai baja. Ingin sekali rasanya aku berteriak, memanggilmu agar berbalik arah dan membicarakan semua baik-baik. Namun, lidahku tercekat. Ini begitu sakit. Saking sakitnya aku tak bisa merespon apa-apa.
Jujur saja, bukan ini yang aku inginkan. Aku mendebat sehebat itu agar kau menyadari segalanya, lalu meminta maaf. Tembok yang tampak di depan sana, membuat kita berbalik arah lalu mencari jalan lain di depan sana bersama. Sayangnya, nasi sudah jadi bubur. Engkau sudah memutuskan perpisahan di ujung perjalanan. Mungkin memang ini yang terbaik untuk sekarang. Mungkin juga hilang adalah jawaban dari kita.
Aku mengusap peluh dan air mata yang membasahi wajah. Kemudian berkata, “Semoga kamu selalu bahagia, Mas. Aku mencintaimu.”
***
Malam kembali hadir saat aku datang ke angkringan Mang Ujang. Ini pertama kalinya aku keluar setelah dua minggu mengurung diri di kamar kos sendirian. Ya. Setelah perpisahan yang engkau kumandangkan, aku menghabiskan waktu untuk menyendiri. Pekerjaanku bisa diakses dari mana saja. Jadi, aku keluar hanya untuk beli makan.
Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Semenjak hari itu, aku seperti kehilangan dunia. Setiap bangun di pagi hari, penyesalan selalu memenuhi ubun-ubun kepala. Hari-hariku habis dengan keinginan untuk segera mati yang tak lekas terwujud. Namun, hari ini aku memutuskan untuk menyudahi segalanya. Sebab menyadari bahwa menjadi gila pun rasanya percuma. Engkau tak akan kembali, bahkan sekadar melirik saja sudah tak mungkin.
“Mang, cappucino satu sama telur puyuh. Kayak biasa.” Begitulah pesanku pada Mang Ujang yang tengah sibuk melayani pembeli. Seperti biasa, angkringannya ramai. Namun, hal lain yang kulihat adalah dua orang laki-laki yang membantunya melayani pelanggan. Mungkin karyawan baru.
“Eh, Neng Adel! Lama gak ke sini, nih!” ujar Mang Ujang sembari tersenyum ramah.
“Iya, nih, Mang. Banyak kerjaan,” balasku.
Mang Ujang mengernyitkan dahi. Tatapan matanya sulit diartikan. Namun, seperti menjawab kebingunganku, beliau kembali berkata, “Banyak kerjaan apa patah hati lo? Kemarin si Farel ke sini sama cewek. Katanya udah putus sama lo. Pantes aja lo gak pernah ke sini. Pikir gue sih, lo takut ketemu dia sama cewek barunya.”
Aku sedikit tersentak mendengar cerita Mang Ujang. Untung saja aku masih mampu mengontrolnya meski hatiku rasanya seperti ditikam oleh ribuan duri. Luka kemarin belum sembuh, tapi sekarang aku harus menerima pernyataan baru.
“Udah, gak usah sedih. Cowok begitu mah banyak, Neng. Apalagi dia kemarin bilang kalau dia dekat sama cewek barunya sejak dia tahu, kalian udah gak ada jalan buat sama-sama,” lanjut Mang Ujang.
Aku semakin terkejut dengan cerita Mang Ujang. Kini, ribuan pertanyaan kembali memenuhi pikiran. Aku mulai menerka-nerka. Apakah selama ini engkau tidak lagi mau mengalah, memperpanjang pertengkaran, meninggalkanku sendirian, dan merendahkanku karena sudah menemukan pengganti? Apakah mungkin, juga semua itu sengaja kau lakukan agar hubungan ini berakhir? Ah, aku tak mengerti.
“Udah, gak usah dipikirin, Neng. Cowok mah emang gitu kalau udah bosen,” tukas Mang Ujang sembari berlalu menuju ke salah satu pelanggan yang sudah menunggu pesanan.
***
TAMAT
Komentar
Posting Komentar