Cerpen: Barangkali Legam ialah Mahkota
Barangkali Legam ialah Mahkota
Oleh: Adhelia Putri Chandra P.
***
"Barangkali legam di wajah ialah mahkota di kepala, maka pertahankan ia. Sekalipun, mereka yang melihatnya menganggap sebagai sebuah dosa belaka."
-Adhelia Putri Chandra P.
Malam semakin larut ketika aku menduduki kursi di halaman rumah. Mata ini menangkap langit dengan kerumunan bintang di sana. Di antara kerumunan bintang itu, ada purnama yang sempurna, ia seperti dewi yang menerangkan kegelapan malam ini. Begitu indah, pikirku.
Tak lama, pandanganku beralih pada monitor yang terletak di meja. Di sisinya ada secangkir creame latte yang sudah mendingin. Aku melakukan peregangan sejenak, melepas pegal-pegal yang menggerayai tubuh. Dua jam duduk di hadapan monitor dan bergelut dengan tugas kuliah, rasanya sangat melelahkan, apalagi bagi mahasiswa yang baru saja duduk di semester satu sepertiku.
Tiba-tiba, suara piring yang dilempar berhasil membuatku terjingkat. Hampir saja, laptop di meja terjatuh karena tindakan spontan dari kakiku yang menendang meja. Tak lama kemudian, sayup-sayup terdengar suara pertengkaran dan pukulan dari rumah kontrakan milik ibu yang kini ditempati oleh Mbak Iris dan Mas Dewangga. Mereka adalah sepasang suami istri yang selalu bertengkar di jam segini.
Sebenarnya, aku kesal dengan ulah mereka yang menurutku mengganggu. Ingin rasanya menghampiri mereka, sekadar memberi peringatan untuk mengecilkan suaranya saat bertengkar. Namun, mengingat nasihat ibu tempo lalu, niat itu kuurungkan.
"Nduk, kita tidak tahu apa yang sedang mereka alami hingga pertengkaran hebat itu mengganggu kita. Kita juga tidak punya hak ikut campur pada apa yang bukan urusan kita." Begitulah tanggapan yang ibu berikan saat aku mengeluh terganggu oleh Mbak Iris dan Mas Dewangga. Sebuah tanggapan yang menurutku sangat bijak, berbeda dengan ibu-ibu lain yang mungkin akan menggibah ria jika aku bercerita soal ini.
Namun, aku sempat menyanggah, "Tapi, Bu. Jika mereka sudah mengganggu kenyamanan apa tidak lebih baik kita tegur? Lagi pula, tidak baik juga bertengkar setiap hari."
"Masalah orang beda-beda, Mir. Setidaknya jika tidak bisa bersimpati, jangan menghakimi." Begitulah kira-kira pesan yang ditambahkan oleh Mas Rahmat ketika mendengar sanggahanku. Singkat, tapi memiliki makna yang begitu dalam.
Pyar!
Lagi-lagi terdengar suara pecahan kaca yang berhasil membuyarkan lamunanku. Mungkin itu suara dari cermin yang dilempar, atau mungkin juga dari botol parfum yang dibanting ke lantai. Ah, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
Sejenak, aku mengembuskan napas panjang sebelum kembali fokus pada layar monitor di hadapanku. Tugas masih banyak, harus segera diselesaikan. Namun, belum lama fokus, suara teriakan dari Mbak Iris berhasil mengambil alih perhatianku.
"Aku bukan jalang! Aku bekerja dengan cara yang benar, Mas!" Seperti itulah kira-kira teriakan dari Mbak Iris yang kudengar. Tak lama setelahnya, aku mendengar suara pukulan yang cukup keras. Mungkin, Mas Dewangga memukulnya.
"Hahaha, lucu! Memangnya, perempuan lulusan SMP sepertimu bisa kerja apa di luar kota jika bukan menjual tubuhmu?!" Suara itu terdengar mencekam. Aku mengenalinya. Itu suara Mas Dewangga yang sedang dibakar amarah. Nadanya yang arogan, berhasil menarik perhatianku untuk terus mendengarkan percakapan mereka.
"Kamu bilang apa Minggu lalu? Bekerja dan sekolah lagi? Ah, memangnya perempuan sepertimu pantas mendapatkan itu? Kamu hanya perempuan, tugasmu melayani laki-laki! Bukan berpendidikan tinggi, jangan mimpi!" Lagi-lagi aku mendengar suara Mas Dewangga yang begitu arogan. Dalam hati, aku sudah mulai merapalkan kalimat untuk membalas ucapannya yang sangat merendahkan perempuan itu.
"Letak perempuan itu di kaki laki-laki, bukan mengangkat derajatnya menyetarai laki-laki. Perempuan itu pelayan bagi suaminya! Menjual liangnya untuk nafkah. Bukan berilmu lalu menjual keahliannya!" Aku bergidik ngeri mendengar kalimat keparat itu. Seketika aku menempatkan posisiku sebagai Mbak Iris. Ah, sudah pasti kubuat robek mulut Mas Dewangga karenanya.
Untuk sesaat, suasana mulai hening. Aku menarik napas lega. Mungkin, pertengkaran mereka berujung perang dingin. Namun, aku tidak peduli dengan hal itu. Lebih baik begini daripada harus mendengarkan kalimat tidak berakhlak dari Mas Dewangga.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama, saat kulihat Mbak Iris berjalan keluar rumah dengan membawa koper dan tas. Sedangkan Mas Dewangga dengan angkuh berteriak, "Pergi saja kamu sana! Pergi yang jauh dan jadi orang besar kalau kamu bisa! Kamu cuma perempuan, ingat itu!"
Aku yang mendengar itu sontak mengelus dada. Dari kejauhan aku dapat menangkap raut lelah dan penuh luka milik Mbak Iris. Jika boleh menerka-nerka, mungkin wanita muda itu sudah muak dengan sikap Mas Dewangga yang tidak pernah menghargainya sebagai perempuan.
Jika boleh berpendapat, sejujurnya aku bingung dengan pemikiran Mas Dewangga. Mengapa dia berpikir serendah itu pada perempuan? Bahkan, saat Mbak Iris sudah memiliki niat baik untuk bekerja dan membantu perekonomian keluarga, dia malah merendahkan Mbak Iris. Sungguh laki-laki aneh dan ingin menang sendiri.
Namun, di sisi lain aku juga merasa miris dengan tindakan Mbak Iris. Bagaimana bisa wanita itu dengan mudah memutuskan pergi dari rumah? Katakanlah, itu hanya sementara. Bukankah itu termasuk sifat pembangkang.
Aku mengembuskan napas panjang, sesekali mencoba melepas segala pikiran dan terkaan tentang Mbak Iris dan Mas Dewangga. Apalagi saat ini sudah pukul 22.00 WIB. Dengan segera, aku menyesap segelas creame latte yang sudah mendingin sebelum membereskan laptopku. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan melanjutkan tugas di balkon kamar saja. Mengingat kata ibu, anak perempuan tidak baik di luar rumah malam-malam.
***
Taman kampus depan gedung graha rektorat adalah tempat paling nyaman untuk bergelut dengan pikiran. Saat ini jam yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul 12.15 WIB, berarti sudah terhitung lima belas menit aku duduk di sini setelah terbebas dari mata kuliah filsafat yang memuakkan.
Pikiranku kembali membayang pada kejadian semalam. Ya, pertengkaran antara Mbak Iris dan Mas Dewangga yang masih terngiang. Setiap kalimat, ucapan, teriakan, pukulan, bahkan suara pecahan dari perabotan rumah itu masih terngiang jelas. Aku bahkan mendadak memiliki rasa takut akibat kejadian itu. Apakah trauma? Ah, kurasa tidak.
"Mira!" Sebuah tepukan di bahu berhasil menyadarkan aku dari alam lamunan. Ah, ternyata Edlyn, sahabatku.
"Kamu mengagetkanku, Lyn!" gerutuku.
"Maaf, habisnya kamu melamun sih! Emangnya lagi mikirin apa? Pasti mikirin Kak Daffa, ya?" balas Edlyn.
Aku segera memukul lengan sahabatku itu dengan kencang. Bisa-bisanya di tengah kesuntukanku membayang dan menerka masalah dari Mbak Iris dan Mas Dewangga, Edlyn malah membahas kakak tingkat yang kukagumi.
"Enak saja. Aku sedang berpikir tentang masalah yang menimpa Mbak Iris dan Mas Dewangga," jawabku.
"Siapa mereka?" tanya Edlyn lagi.
"Tetanggaku. Mereka suami istri yang ngontrak di kontrakan milik ibu. Yang tepat di sebelah rumahku." Aku mulai menjelaskan kepada Edlyn tentang Mbak Iris dan Mas Dewangga. Mulai dari identitas mereka hingga insinden semalam. Aku menjelaskannya secara rinci, bahkan mengulangi ucapan Mas Dewangga dengan gamblang.
"Oh begitu." Edlyn mengangguk-angguk, sepertinya dia sudah menangkap betul ceritaku. Kemudian, tidak ada yang keluar dari mulutnya untuk beberapa saat. Hanya beberapa saat. Sebelum dia berkata, "Aku rasa ini bukan kesalahan rumah tangga, tapi salah pola pikir dan didikan orang tua."
Aku mengernyitkan dahi sebagai pertanda bingung. Memang, bisa dibilang aku ini lemot jika harus dihadapkan pada gadis secerdas Edlyn.
"Mungkin, Mas Dewangga memiliki pola pikir dan watak yang seperti itu karena didikan dari orang tuanya. Orang tua yang mengajarkan bahwa laki-laki adalah raja dan perempuan adalah budak. Padahal, perempuan adalah ratu. Dia berdiri di sisi laki-laki bukan di belakangnya. Perempuan dan laki-laki itu setara, tidak ada yang lebih tinggi. Keduanya sama-sama manusia. Jika di kepala laki-laki ada tahta maka di kepala perempuan ada mahkota." Edylin mulai mengeluarkan opininya. Memang kuakui, sekalipun tingkah Edylin sedikit terlihat tidak waras saat bersamaku, Edlyn merupakan sosok yang tegas dan cerdas, apalagi jika sudah menyangkut emansipasi.
"Jika laki-laki berhak memilih jalan, perempuan berhak menentukan langkah. Jika laki-laki berhak bekerja, perempuan berhak berkarir. Mudahnya, apa yang bisa dilakukan laki-laki bisa juga dilakukan perempuan. Apalagi, dalam agama kita dijelaskan bahwa perempuan itu sangat mulia," tutup Edylin.
Aku mengangguk, setuju dengan pendapat Edlyn. Sebagai perempuan yang juga menganut faham emansipasi; di mana perempuan dan laki-laki punya derajat yang setara, tentu aku mendukung pendapat dari sahabatku itu.
"Nduk, perempuan itu selalu punya mahkota dan tidak ada satu pun orang yang berhak menurunkan mahkotanya. Jadi, jangan merasa rendah karena kamu perempuan, ya?" Seketika, aku teringat pada pesan ibu saat aku duduk di bangku MA dulu. Saat itu sedang ada pemilihan ketua MPK dan aku salah satu kadernya. Aku merasa tidak percaya diri, karena seluruh kader ketua MPK laki-laki, hanya aku yang perempuan, hanya aku.
"Lalu, menurutmu apakah tindakan Mbak Iris benar, Lyn?" Aku yang masih penasaran dengan pendapat Edlyn, akhirnya memutuskan kembali bertanya. Siapa tahu, otak encer sahabatku itu bisa memecahkan teka-teki di otakku, atau minimal memperbaiki sudut pandangku pada Mbak Iris yang kini terlihat seperti pembangkang.
"Jika sebelumnya Mbak Iris pernah mengalah dan menjelaskan secara baik-baik pada Mas Dewangga, tapi Mas Dewangga tidak berubah, maka tindakannya benar sekalipun terlihat seperti istri yang keras kepala. Namun, jika ini yang pertama kali bagi Mbak Iris menjelaskan segalanya, tanpa berusaha mengerti Mas Dewangga, maka Mbak Iris salah." Edlyn menjawab dengan mantap, tentunya tidak hanya dari satu sudut pandang. Namun, aku masih belum puas dengan jawaban itu. Tentu saja karena aku tidak tahu alasan kenapa Edlyn menjawab seperti itu.
"Kenapa begitu? Bukankah tindakan yang diambil Mbak Iris merupakan sebuah sikap yang membangkang?" tanyaku lagi.
"Begini, Mira. Jika sebelumnya Mbak Iris sudah mengalah dari ego Mas Dewangga. Dia sudah menegur salahnya Mas Dewangga dan sudah bersabar, maka dia bukan lagi membangkang, tapi menyelamatkan mahkota yang hampir saja dijatuhkan. Aku tahu, mempertahankan rumah tangga itu kewajiban. Namun, bagaimana Mbak Iris terus tinggal bersama laki-laki yang tidak pernah menghargai Mbak Iris sebagai perempuan? Mbak Iris juga harus menyelamatkan harga dirinya, 'kan? jawab Edylin.
"Beda cerita jika ini yang pertama kali berarti ego Mbak Iris masih terlalu besar dan dia dapat disebut sebagai pembangkang. Memang, menerapkan emansipasi pada seseorang yang sudah dipijak patriarki itu susah. Namun, setidaknya kita harus berusaha memerangi hal tersebut. Bukan dengan kabur, atau pergi begitu saja." Edlyn mengakhiri kalimat yang cukup panjang itu dengan satu senyum manis.
Aku mengangguk setuju dengan pendapat Edlyn. Sangat bijak dan dapat diterima. Berkat pendapatnya, aku jadi membuka mata pada tindakan Mbak Iris. Mungkin benar, Mbak Iris sudah lelah harga dirinya diinjak. Wanita itu memutuskan pergi bukan semata-mata berontak, tapi karena menyelamatkan harga diri yang sudah hampir hilang karena suaminya.
Di sisi lain, aku juga jadi mengerti mengapa ibu dan Mas Rahmat berpesan kepadaku untuk tidak ikut campur dan tidak menghakimi masalah orang lain. Mungkin benar, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pertengkaran dan masalah mereka yang menurut kita mengganggu. Mungkin saja, Mbak Iris sudah benar-benar lelah sehingga pertengkaran selalu terjadi, hingga tak peduli pada keadaan sekitar.
"Hei, Mira! Kamu melamun lagi!" getak Edlyn mengagetkanku.
"Ah iya, ada apa, Lyn?" tanyaku.
"Aku mau pulang dulu, ya. Kakak sudah menjemput di depan," pamitnya.
Aku mengangguk. Kemudian, kulambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan. Tak lama setelahnya, aku bangkit dari tempat duduk dan mulai melangkahkan kaki meninggalkan kampus.
Lagi, satu pelajaran berharga kudapat dari relasi di bangku perkuliahan ini.
***
TAMAT.
Malang, 04 September 2022
Komentar
Posting Komentar