[Cerpen] Kisah Tak Berjudul untuk Fredella
Kisah Tak Berjudul untuk Fredella
Oleh: Adhelia Putri Chandra P.
***
“Argh!” Suara itu menggelegar ke seluruh penjuru kamar kos berukuran 4x6 meter. Dari kejauhan, tampak mata cokelat seorang gadis tengah menatap nyalang bayangan dirinya di cermin. Satu tangannya yang tengah menggenggam botol kaca, tiba-tiba mengikuti interupsi otak untuk terangkat. Tak lama, suara pecahan kaca terdengar. Lantai menyatu dengan darah yang mengalir deras dari telapak kaki Fredella─gadis itu. Bersamaan dengan itu, air matanya luruh. Bukan! Bukan karena beberapa puing pecahan kaca yang menusuk kakinya, tapi karena luka yang membara dalam dada.
“Argh!” Fredella berteriak frustasi. Tangannya terarah untuk membuang semua barang yang tertata rapi di meja rias. Suara pecahan kembali terdengar, sesekali beradu dengan teriakan dan isak tangis Fredella.
Minggir!” titah Fredella kepada dua laki-laki yang menghadang langkahnya di pintu kelas.
“Tidak akan sebelum kau menyerahkan tubuhmu pada kami,” balas Faiz─salah satu dari dua laki-laki itu.
Sebuah seringai tampak di wajah dua laki-laki itu ketika raut Fredella berubah menjadi penuh ketakutan. Mata mesum mereka meniti satu per satu bagian tubuh Fredella yang terbalut seragam kotak-kotak berwarna merah. Seperti macan yang hendak menikam mangsa, tangan Faiz melambai pada satu bagian tubuh Fredella—hendak menggenggamnya. Namun, dengan sigap Fredella menepisnya.
“Wow! Berani sekali kau, bukankah sudah jelas ucapan Faiz? Kami akan minggir jika kami mendapatkan izin untuk menyentuh payudaramu.” Suara Ferdi─laki-laki yang ada di sisi Faiz─terdengar. Sontak, Fredella mengeram kesal dengan ucapan tidak beretika milik temannya. Gadis itu seketika mengangkat satu tangannya seolah hendak melayangkan pukulan pada Faiz dan Ferdi. Sialnya, sebuah tangan milik seorang siswi berhasil mencekal pergelangan tangan gadis itu.
“Jangan berani melawan!” Kalimat itu bergema di seantero kelas VIII-G yang masih tampak ramai. Siswi dengan nametag bertulis ‘Nur Rissa’ itu dengan segera membalik tubuh Fredella sembari berucap, “Lihatlah tubuhmu itu, seperti kupu-kupu malam. Pantas Faiz ingin menyentuhnya.”
Fredella seketika menundukkan kepala. Hatinya terasa nyeri mendengar dirinya disamakan dengan kupu-kupu malam oleh sesama perempuan. Meski demikian, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak meneteskan air mata yang sudah mulai menggenang. Sedangkan Risa tengah menyeringai sembari bersedekap melihat Fredella yang tampak terluka.
“Oh, ya. Ngomong-ngomong, kau pakai bedak nomor berapa? Kenapa wajahmu putih sekali? Mau pergi kondangan, atau mau menjalankan tugas sebagai kupu-kupu malam?” Lagi-lagi Risa melontarkan kalimat yang menyakitkan bagi Fredella. Hal ini tentu saja membuat Fredella mengangkat kepalanya dan menatap Risa tajam. Ingin sekali rasanya membalas semua perkataan Risa. Namun, ketakutan selalu memenuhi inci kepala dan hatinya.
“Kok diam saja, sih? Aku bertanya padamu, Del!” Risa menggoyangkan bahu Fredella seolah meminta jawaban dari pertanyaannya,”kau pakai bedak nomor berapa, Del?” tanya Risa sekali lagi.
“Lima!” jawab Fredella asal sembari melangkah kembali ke tempat duduknya.
Mendengar jawaban dari Fredella, seluruh penghuni kelas tertawa. Sebuah lelucon bagi mereka. Seorang siswi SMP yang baru duduk di kelas delapan, menggunakan bedak nomor lima yang biasa digunakan oleh ibu-ibu di kampung mereka.
“Hahaha! Gila! Nomor lima, dong!” Risa kembali menggemakan suaranya. Gadis itu tertawa puas melihat raut penuh rasa malu dari wajah Fredella. Begitu juga dengan teman-teman yang lain. Sedangkan Fredella hanya terdiam menahan kemarahan yang entah sampai kapan, akan mampu ia simpan.
“Sudah badan bongsor, dada besar, pakai bedak nomor lima pula. Sudah, jadi kupu-kupu malam saja kau!” hardik Diajeng, teman Fredella yang lain.
“Keluar saja kau dari kelas ini, memalukan! Lagi pula, tak ada yang menyukaimu dan menginginkan kehadiranmu di sini,” lanjut Azza yang duduk di sebelah Diajeng.
Fredella kembali menundukkan kepalanya. Setetes air mata jatuh begitu saja tanpa dipinta. Dadanya terasa nyeri mengingat setiap hardikan yang dilontarkan oleh teman sekelasnya. Rongga dalam tubuhnya meraung-raung menggemakan lelah yang tak berkesudahan.
“Oh, iya, teman-teman. Kalian tahu tidak sih, kalau payudaranya Fredella besar karena sering dipegang oleh ayahnya? Duh, miris sekali.” Suara seorang gadis dengan name tag bertuliskan Deanita Maryanti itu terdengar. Fredella mengangkat kepalanya kemudian mengalihkan pandangannya kepada gadis itu. Sontak, semua orang yang ada dalam ruangan itu tertawa melihat air mata yang sudah membanjiri wajah Fredella.
“Yah nangis, dasar cengeng!” hardik Aprilia.
“Sudahlah, nanti ngadu ke BK. Mending kita ke kantin saja!” lanjut Azza yang baru selesai membenarkan jilbabnya. Seluruh penghuni kelas itu mengangguk. Tak lama kemudian, mereka bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan Fredella sendirian.
"Suatu saat akan kubalaskan semuanya, itu janjiku atas penghinaan ini!” desis Fredella.
“Bodoh!” Fredella berteriak dengan keras ketika NJ bayangan dari kejadian itu berputar. Wajahnya merah padam akibat amarah terpendam. Tak lama kemudian, ia mulai meracau—melanturkan segala sakit yang melilit.
Fredella mengusap air matanya saat melihat sebuah pecahan botol parfum tergeletak. Tanpa menunggu lama, ia mengambil pecahan tersebut. Matanya menatap kosong ke arah kaca di genggamannya, sembari berkata, “Jika aku gunakan kaca ini untuk menghabisi mereka, mungkin dendamku akan berakhir. Namun, jika aku menggunakannya untuk menghabisi diriku, maka derita inilah yang berakhir.”
Fredella menyeringai membayangkan betapa nikmatnya mati. Dalam pikirannya, dengan mati penderitaan akan berakhir, dia akan tenang, dan hidup bahagia di sisi Tuhan. Tanpa berpikir panjang, Fredella dengan cepat menggoreskan kaca itu di lengannya. Bak melukis di kanvas menggunakan cat dari darah segar, begitulah pikirnya.
“Dasar anak bodoh! Anak tidak berguna!” Fredella teringat kalimat ayahnya beberapa waktu silam. Kalimat yang kemudian berujung membawanya pergi dari rumah neraka itu. Kalimat yang juga membuat Fredella semakin gencar melukai dirinya di dalam kamar kos setiap malam.
“Keluar kau dari kelas ini! Tak ada yang menyukai pelacur sepertimu di sini!”
“Aduh ngeri sekali suhu ini!”
“Anak orang miskin tak pantas jadi apa-apa!”
“Ibumu saja melacurkan diri dengan menikah berulang kali, lantas mengapa kau masih berharap bersekolah tinggi?”
“Anak bodoh, mati saja kau!”
Air mata Fredella mengalir deras mengingat semua rangkaian kata menyakitkan yang dilontarkan oleh orang-orang di sekitarnya. Kalimat itu bagai bom yang merongrong rongga dadanya, lalu menghancurkan setiap inci yang susah payah dia kokohkan.
"Argh! Sial!” Fredella melemparkan kaca yang sudah dipenuhi darah segar dari tangannya itu ke sembarangan arah, “aku lelah, Tuhan. Aku ingin pulang,” lirih Fredella lemah.
Gadis itu memegang dadanya yang terasa sesak, kemudian memukulnya keras—berharap rasa sakit itu hilang. Sialnya, rasa sakit itu tak kunjung berkurang. Ia semakin membara, semakin besar, bahkan semakin dalam, setiap kali ingatan akan masa kelam itu terputar dalam kepalanya.
Ya, begitulah kira-kira kondisi Fredella setiap malamnya. Menangis, meratapi nasib, pula menghardik Tuhan atas luka di masa lalu yang belum berhasil dia sembuhkan. Dalam kegelapan malam yang senantiasa menyelimuti dunia, gadis itu menumpahkan segala kemarahan dan rasa sakitnya. Benar-benar menyedihkan, bukan?
***
“Minggir kau sampah masyarakat!” Seorang siswi berjilbab putih mendorong Fredella dengan kuat hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Sontak, hal ini membuat seluruh penghuni kelas tertawa.
“Eh, ada keset baru rupanya!” Risa yang baru saja masuk ke dalam kelas langsung meletakkan satu kakinya di atas punggung Fredella. Gadis itu kemudian, menggerakkan kakinya, seolah sedang membersihkan sepatu di sebuah keset tak peduli pada Fredella yang meringis kesakitan di bawahnya.
“Nah, sudah bersih. Terima kasih keset baru!” ujar Risa sembari menarik kakinya dari punggung Fredella, lalu pergi ke bangkunya.
Fredella menatap tajam kepergian Risa sebelum gadis itu berusaha bangkit. Seragam putih lusuh miliknya, semakin tampak kotor dengan bekas sepatu milik Risa. Fredella menatap penampilannya, sesekali gadis itu merapikan seragam yang lusuh.
“Ewh, jorok!” hardik Azza, “pergi sana, jijik!” lanjut gadis itu sembari mendorong Fredella keluar dari kelas lalu menutup rapat pintu kelas.
Fredella menatap nanar ke arah pintu kelas yang tertutup rapat. Setetes air mata kembali jatuh dengan deras mengaliri wajah. Hatinya kembali dibuat ngilu oleh perlakuan memalukan. Ingin sekali Fredella berlari ke arah ruang BK, lalu mengadukan perlakuan teman-teman sekelas. Namun, lagi-lagi rasa takut mengalahkan gadis itu. Kini, dia hanya bisa berjongkok di depan pintu, sembari menangis menunggu guru datang agar teman-temannya mau membuka pintu—dengan sekujur tubuh yang luka dan hati yang dipenuhi derita.
Fredella tersadar dari lamunannya saat sebuah dering notifikasi dari ponsel terdengar. Tangan gadis itu dengan sigap mengambil sebuah ponsel yang tergeletak di meja. Setelah mengusap layar ponsel, jemarinya dengan sigap menekan ikon aplikasi whatsapp yang tertera di layar utama. Ternyata, ada banyak sekali pesan masuk yang belum terbaca. Sebagian besar adalah dari komunitas menulis dan grup kerjanya.
Merasa tidak ada yang penting, Fredella dengan sigap menutup kembali aplikasi whatsapp, kemudian dengan lihai tangan gadis itu berselancar pada aplikasi instagram. Entah titah siapa yang membawa gadis itu membuka satu per satu sorotan di akun instagram miliknya, hingga sampai pada sebuah sorotan berisikan sertifikat dan penghargaan yang ia dapatkan sejak tiga tahun yang lalu.
Kedua sudut bibir Fredella terangkat membentuk cekungan tipis saat melihat sebuah gambar bertuliskan Sertifikat Penghargaan diberikan kepada Fredella Bilqist Humairah sebagai Penulis Terpilih dalam Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional. Gambar itu merupakan sertifikat pertamanya saat menginjakkan kaki di dunia kepenulisan. Fredella ingat, rasa bahagia yang menyelimuti hatinya saat pertama kali mendapatkan penghargaan itu. Ia juga ingat betul, bagaimana orang-orang memberi apresiasi, sekalipun hanya ada satu kalimat menyakitkan dari sang ayah saat itu.
“Ah, percuma kalau tak dapat uang.” Begitulah kalimat yang ia dengar saat menunjukkan sertifikat itu pada sang ayah. Sejenak, terlihat Fredella mengembuskan napas kasar. Ah, selalu saja ada duka bahkan di balik bahagia yang tengah ia rasakan.
Tak ingin berlama-lama menatap satu gambar itu, Fredella kembali menggerakkan jarinya ke gambar berikutnya. Di sana, terdapat foto-fotonya dengan piala yang kini terpajang di sudut meja. Foto itu diambil saat ia duduk di kelas 12 silam—tepatnya, saat ia berhasil meraih juara pertama lomba menulis cerpen di tingkat nasional.
“Bagaimana, ya, kabar mereka?” gumam Fredella sembari menatap wajah guru Bahasa Indonesia yang tampak tersenyum di foto itu.
Fredella kembali menggerakkan jempolnya untuk menelusuri sorotan instagram berjudul ‘congrats’ yang ia buat sejak menginjakkan kaki di dunia kepenulisan. Ada banyak sekali sertifikat, apresiasi, dan jejak yang ia dapatkan di sana. Namun, lagi-lagi jarinya berhenti saat mata cokelat itu menangkap gambar berisikan sebuah novel berjudul ‘Labirin Takdir’ dengan namanya di bawah judul. Itu adalah novel pertamanya. Novel yang membuatnya mendapat banyak apresiasi, bahkan termasuk dari keluarga yang selama ini selalu merendahkannya.
“Anakku yang malang, sudah lama aku tidak kembali membuka PO untuk menjualmu,” ujar Fredella mengingat terakhir kali preorder untuk bukunya adalah empat bulan yang lalu.
Jari Fredella kembali menelusuri satu per satu sorotan di akun instagramnya hingga sebuah notifikasi pesan whatsapp masuk. Fredella bergegas membuka notifikasi tersebut. Ternyata pesan dari Arka—teman dekatnya sejak SMA—yang tengah mengomentari isi snap yang baru saja dibuat oleh Fredella.
[14/11, 20.38]
Arka Zidan
Jangan berlarut-larut dalam duka, Del. Banyak orang yang menyayangi dan mendukungmu.
[14/11, 20.38]
Fredella Bilqist Humairah
Aku pun tak ingin berlarut, tapi mengapa Tuhan terus merundung nasibku, Arka? Aku lelah seperti ini.
Setelah mengetik balasan itu, Fredella kembali menutup aplikasi whatsapp miliknya. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya berselancar di sosial media. Kali ini, bukan lagi sorotan instagram miliknya, melainkan fitur reels yang terdapat pada aplikasi instagram. Jemari Fredella berhenti saat fitur tersebut menampilkan video seorang anak yang tengah berjualan sepulang sekolah ditampilkan. Perasaan iba muncul dalam hati Fredella. Bagaimana tidak? Seorang anak yang harusnya memiliki dunia untuk bermain dan tertawa bersama teman, harus mengorbankan hal itu untuk mencari sesuap nasi demi bisa hidup.
Di saat yang bersamaan, dering notifikasi dari Arka kembali terdengar. Namun, bukannya segera membalas, Fredella masih saja fokus melihat video anak tersebut. Tanpa berpikir panjang, tangannya menekan tombol berbentuk pesawat kertas, kemudian membagikannya melalui pesan yang ditujukan ke akun Arka dan Alea—sahabatnya. Beberapa saat setelahnya, Fredella menutup kembali aplikasi instagramnya dan membuka kembali aplikasi berlogo hijau di layar utama.
[14/11, 20.30]
Arka Zidan
Ketahuilah, Del. Tuhan tak merundung nasibmu, Ia hanya sedang mendidikmu menjadi sosok yang kuat di kehidupan kelak. Bersyukurlah. Aku tahu kau melewati segalanya sendirian, aku tahu jalan hidupmu teramat berat, tapi bersyukurlah. Ingat, Del, kau tak akan jadi seperti sekarang, tanpa semua kejadian di masa lalumu.
[14/11, 20.32]
Fredella Bilqsit Humairah
Tapi aku sudah lelah, Arka. Bayangan akan masa lalu itu selalu saja menghantuiku. Sakit sekali setiap mengingatnya. Aku hanya ingin bebas dari derita sialan ini.
[14/11, 20.32]
Arka Zidan
Maka belajarlah untuk ikhlas, Del. Hal-hal buruk di masa lalu, jadikan pelajaran agar tak terulang di masa depan. Ingatlah hal-hal yang baik agar kau selalu terjaga. Aku baru saja melihat sebuah video yang kaukirim di instagram. Tidakkah setelah melihatnya kau menyadari satu hal? Di luar sana, ada yang jauh lebih tak beruntung, tapi mereka masih bertahan.
[14/11, 20.33]
Arka Zidan
Del, coba kaupikir, anak kecil di video itu, usianya terlampau muda. Ia sudah dihadapkan dengan dunia yang bajingan. Namun, sedikitpun ia tak mengeluh, apalagi menyerah. Rautnya senantiasa tertawa. Tidakkah kaumalu dengannya? Di usiamu yang menginjak kepala dua, kau masih saja berpikir tentang bunuh diri dan melukai dirimu atas semua yang terjadi di masa lalu. Padahal, hari ini hidupmu sudah jauh lebih baik.
[14/11, 20.33]
Arya Zidan
Del, lihatlah dirimu, betapa hebatnya engkau menghadapi segalanya. Lihatlah piala-piala yang terpajang di kamarmu, medali yang tergantung di dindingmu, dan sertifikat penghargaan yang kautumpuk di atas berkas-berkasmu. Jika luka masa lalumu begitu berat dan dunia tak adil padamu dulu, maka ingatlah perjuanganmu untuk tetap bertahan hingga kau menjadi seperti sekarang. Ingatlah betapa beruntungnya kau hari ini. Jadi, ingatlah satu hal ini, Del, setiap kali kau hendak menyiakan hidup, mencaci takdir, dan membenci dirimu, maka saat itu jugalah orang yang jauh lebih menderita darimu tengah memperjuangkan hidupnya.
Membaca tiga pesan berantai dari Arka, gadis dengan gigi gingsul itu merasa tertampar. Sejenak ia mencoba berpikir jernih sembari mengedarkan pandangannya pada jejeran piala dan tumpukan berkas berisikan sertifikat miliknya. Di sana, ada banyak sekali perjuangan yang ia lakukan, bukan hanya sekadar untuk masa depan, tapi juga untuk membalas semua hinaan yang telah ia terima.
Fredella kembali mengingat, di antara tumpukan sertifikat dan jejeran piala itu, ada satu hal yang begitu berharga di sana. Ya. Ia bertemu orang-orang baik yang menyayanginya, mengenal banyak orang yang mampu menghargai kehadirannya, dan menemukan sebuah tempat di mana kekurangannya diterima.
Ah, untuk pertama kalinya Fredella merasa bahwa dirinya adalah seseorang yang kufur. Bagaimana tidak? Ada banyak kebaikan dan keberuntungan dalam kehidupannya saat ini, mungkin juga di masa yang akan datang, tapi gadis itu malah memikirkan duka yang telah terjadi bertahun-tahun silam.
Sejenak, tampak Fredella menarik napasnya panjang. Ia melirik pergelangan tangan yang telah dipenuhi bekas sayatan. Rasa bersalah tiba-tiba muncul begitu saja.
“Ah, andai saja aku lebih bijak dalam bertindak, mungkin kau masih semulus kulit yang diidamkan jutaan wanita di luar sana, Del,” guman Fredella.
“Maafkan aku, Diriku. Akan kuperbaiki semuanya dan akan kusembuhkan luka ini tanpa melukaimu lagi,” pungkasnya.
***
"Setiap kali kau hendak mengeluhkan hidupmu, maka ketahuilah, di luar sana ada banyak orang yang hidupnya jauh lebih sakit darimu, tapi ia tak seberisik kamu."
-Dhelcha, 2023.
End.
Komentar
Posting Komentar