[Cerpen] Apakah Perempuanku Masih Ingin Mati?

 Apakah Perempuanku Masih Ingin Mati?

Oleh: Adhelia Putri Chandra P.

***

Macet. Satu kata yang tak pernah terhapus dari kondisi Kota Malang setiap hari, apalagi pada hari Minggu seperti sekarang. Kepulan asap rokok milik sopir angkutan umum dan kepulan asap kendaraan besar menyatu di atas sana. Aroma kecut dari para pengendara yang terjebak kemacetan di Perempatan Belimbing ikut menjadi perpaduan siang ini. Sesekali, aku membetulkan letak kacamata yang melorot sebab hidung yang mancung ke dalam seraya berdecak sebal. Bagaimana tidak? Sudah hampir setengah jam kendaraan yang ditunggangi oleh kekasihku ini mangkrak akibat jalanan yang awut-awutan siang ini. Belum lagi sinar matahari yang terasa menyengat dan menguliti kulit. 


“Huh, harusnya tadi aku mengenakan setelan lengan panjang,” gerutuku.

“Ya 'kan sudah Mas bilang, pakai jilbab,” sahut Raka—kekasihku yang tengah asik mengendalikan setang motor—menyelip di antara padatnya kendaraan. 


Aku menghela napas panjang. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa jalanan di Kota Malang, terutama di Perempatan Belimbing, persimpangan arah Jalan Soekarno Hatta, Perempatan LA. Sucipto, Jalan Pasar Besar, dan beberapa persimpangan lainnya, selalu saja macet, apalagi di hari Minggu dan hari libur seperti sekarang. Hal ini terjadi karena ramainya pengendara baik itu warga Kota Malang sendiri maupun wisatawan yang pergi berlibur ke kota wisata ini. Belum lagi beberapa pengendara yang tidak sabar lalu menerobos lampu merah, memakan jalan lawan arah, kendaraan besar seperti truk dan bis yang memenuhi hampir setengah badan jalan, dan parkir liar di mana-mana. Ah, malang sekali nasib pengendara di Kota Malang yang awut-awutan ini.


Setelah beberapa lama terjebak kemacetan, akhirnya aku dan Raka pun berhasil menemukan jalan tikus yang ramai, tapi tetap lancar. Ngomong-ngomong, jika kalian berpikir aku dan Raka hendak berkencan ria di Minggu yang cerah ini, kalian salah besar. Alih-alih mengajakku berkencan. Laki-laki yang otaknya hampir hilang setengah ini justru mengajakku mencari sparepart untuk membenahi laptopnya yang rusak.

“Jadi ke pasar besar, Mas?’ tanyaku memecah keheningan di antara kami.

“Iya, sekalian nunjukin ke kamu sesuatu, biar enggak kepikiran bunuh diri terus,” balas Raka singkat. 


Ya. Akhir-akhir ini, hidup sedang gencar-gencarnya merundungi nasibku. Ia tak henti memberi masalah yang menjelma bombardir—yang kemudian meluluhlantahkan setiap inci dada. Mulai dari perceraian orang tua, konflik antara aku dan ayah, ekonomi yang hancur sejak hari itu, ditambah lagi konflik dengan orang tua Raka. Ah, tidak, itu belum semuanya—belum termasuk problematika pekerjaan dan kuliahku yang kian terombang-ambing karena banyaknya masalah yang ada.


Setiap hari, rasanya kepalaku ingin pecah. Bayang-bayang ingin mati lalu tenang dengan meninggalkan sepucuk surat—seperti pada sinetron ternama di layar kaca, atau mungkin seperti isi fyp tiktok akhir-akhir ini—selalu menggerayaiku setiap malam. Untung saja, aku memiliki Raka yang setia mengingatkan bahwa siapa saja yang bunuh diri, arwahnya tak akan diterima.


Ah, sudahlah. Membahas ini membuatku lupa waktu. Tak terasa setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam dari Kota Batu, kami pun sampai di Pasar Besar Kota Malang. Setelah memarkir motor, Raka menggandeng tanganku menelusuri pasar.

“Kamu lihat itu? Ia bahkan tak berpikir untuk mati. Lihatlah, ia begitu semangat menawarkan belimbing yang mungkin akan membusuk bila tak laku hari ini.” Tiba-tiba, suara berat Raka terdengar. Ia menunjuk ke arah seorang anak laki-laki dengan pakaian  usang dengan satu keranjang berisikan buah belimbing yang ia panggul di kepala. 


“Lalu, lihat ke arah sana. Ia rela menjadi wanita dan menghilangkan jati dirinya sebagai pria gagah, hanya demi menyambung hidup.” Kini, Raka berganti menunjuk seorang waria dengan rok mini dan pengeras suara yang tengah memutar musik rock ternama. Ia terlihat tertawa dan menggoda siapa saja yang lewat di depannya, tapi entah mengapa hatiku menangis melihat itu.


Sedang asyik-asyiknya mengamati mereka yang mungkin hidup penuh kekurangan, hingga mengorbankan sebagian masa dan harga—tiba-tiba Raka menghentikan langkah. Sontak, aku mengaduh kesakitan karena kepalaku menatap punggungnya. 

“Hati-hati. Kita sudah sampai. Mas beli sparepart dulu, ya?” ujarnya.


Aku mengangguk. Tak lama kemudian, mataku menyapu satu per satu pemandangan di tempat ini. Ada ibu-ibu yang sudah renta, tapi masih kuat berdagang di salah satu bedak. Ada juga, seorang gadis dengan wajah rupawan, tapi tertutup bedak tebal tengah bernyanyi riang di tengah-tengah pasar. Namun, yang paling mengetuk hatiku adalah seorang anak perempuan, yang mungkin berusia sembilan sampai sepuluh tahun, tengah membereskan keranjang berisi bakpao yang berserakan di bawah.


“Mas, aku ke sana sebentar, ya? Mau beli bakpao,” pamitku pada Raka yang tengah asyik memilih sparepart.

“Hai, Cantik, bolehkah aku membeli bakpao itu?” tanyaku seraya berjongkok—menyamakan tinggi badan dengannya.

“Bakpaonya sudah kotor, Kak. Padahal, belum laku satu pun.” Kulihat gadis itu menunduk lesu. Matanya berkaca-kaca melihat keranjang berisikan bakpaoyang sudah bercampur dengan tanah. Ah, sungguh membuatku semakin tak tega.


“Ibu pasti akan memarahiku lagi nanti.” Suaranya terdengar serak, “ibu memintaku membantunya berjualan untuk beli makan dan obat untuk ayah, tapi anak-anak itu menghancurkan bakpao yang dibuat ibuku,” lanjutnya sembari menunjuk segerombol anak yang tengah duduk di salah satu kios. Mungkin mereka adalah anak-anak dari pemilik kios di sini, atau mungkin juga akamsi yang tengah main ke sini. Ah, sudahlah. Aku tak peduli juga siapa mereka.


Setelah mendengar ucapan gadis itu, aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan yang tinggal satu-satunya di dompet hitam milikku, lalu kuserahkan pada gadis itu. “Ini untukmu. Gunakan untuk beli makan dan obat ayahmu.”


“Tapi, Kak, bakpaoku tak layak untuk dibeli,” ujar gadis itu, sepertinya ia ragu mengambil uang itu.

 “Tak apa, ini untukmu.” Dengan sigap aku meraih tangannya, lalu meletakkan uang itu pada genggamannya. 


Gadis itu tersenyum. Berkali-kali ia mengucap rasa syukur kepada Tuhan, tak lupa juga ia ucapkan terima kasih padaku. Sorot mata yang tadinya sendu, entah mengapa tiba-tiba menjadi begitu bercahaya, selayaknya mata anak-anak pada umumnya. 


“Sekali lagi terima kasih, Kak. Ibuku akan sangat senang. Kami bisa makan kenyang hari ini. Aku pulang dulu, ya, Kak!” ucapnya terdengar polos.

“Semoga kamu selalu dipertemukan dengan orang baik, Dik.” Kedua sudut bibirku terangkat melihat gadis itu melangkahkan kakinya keluar dari kerumunan pasar sembari bersenandung riang.


“Hai, katanya mau beli bakpao, lama sekali?” Sebuah suara itu berhasil membuatku menjingkat. Siapa lagi jika bukan Raka. Laki-laki itu selalu saja membuatku terkejut. Kan sudah kubilang, otaknya hilang setengah. 


“Ah, iya. Maaf. Aku keasyikan mengobrol dengan gadis kecil penjual bakpao tadi, Mas,” jawabku setelah mengontrol detak jantung yang tak karuan.

“Baiklah, tak apa. Lalu, mana bakpaonya? Mas lapar,” tanya Raka.

Aku menggeleng pelan. Kuceritakan padanya tentang apa yang baru saja terjadi. Tentang gadis itu, bakpao, dan selembar uang lima puluh ribu untuknya. Kulihat seulas senyum manis tercetak di wajah laki-laki itu, kemudian ia berkata, “Lalu, setelah semua ini apakah perempuanku masih ingin mati?”

***

Tamat 

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Musnah

[Cerpen] Mengapa Kemalangan Menghujani Nasibmu?

Essai: Membidik Eksistensi Bahasa Jawa di Era Gen-Z