Essai: Membidik Eksistensi Bahasa Jawa di Era Gen-Z


Membidik Eksistensi Bahasa Jawa di Era Gen-Z

Oleh: Adhelia Putri Chandra P.

***

            Bahasa jawa merupakan salah satu bahasa daerah dengan perkembangan yang cukup pesat. Namun, di era milenial ini, bahasa yang kerap digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, mulai terkikis. Terkikisnya bahasa Jawa di era milenial ini tejntunya sangat miris dan perlu perhatian. Bagaimana tidak? Kaum milenial yang seharusnya menjadi ahli waris guna melestarikan serta mempertahankan eksistensi sebuah bahasa─terlihat tidak mengerti bahkan tidak peduli pada perkembangan bahasa tersebut. Hal ini tentu dapat dilihat dari berkurangnya pemakaian bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Mereka lebih senang menggunakan bahasa Indonesia, bahkan tidak jarang dijumpai kesalahan terjadi ketika mereka menggunakan bahasa Jawa karena tidak seberapa mengerti bahasa Jawa, padahal mereka berasal dari daerah yang penduduknya mayoritas berbahasa Jawa.


            Hal miris lain yang dapat dilihat dari eksistensi bahasa Jawa di era Gen-Z ini adalah beberapa kalangan remaja dan anak-anak yang berasal dari daerah dengan penduduk mayoritas berbahasa Jawa─menganggap bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa yang kuno dan udik, sehingga mereka malu ketika harus menggunakan bahasa Jawa.


            Selain dari terkikisnya bahasa Jawa, ada hal lain yang lebih memprihatinkan dari perkembangan bahasa Jawa di era Gen-Z. Hal tersebut tak lain adalah bobroknya moral pewaris bahasa ini dalam menggunakan bahasa ini. Dapat dilihat dari bagaimana anak-anak zaman sekarang ketika berbicara dengan bahasa Jawa, mereka cenderung menggunakan bahasa yang kasar bahkan bahasa  yang jorok. Padahal, di masa lampau orang Jawa terkenal dengan sopan santun, keramahan, dan moralitas yang tinggi.


            Beberapa perkara yang sudah dijabarkan di atas, tentunya memiliki faktor yang menjadi dasar mengapa perkara tersebut bisa terjadi. Faktor pertama yaitu kurangnya penutur. Berbeda dengan zaman dahulu, di era sekarang jarang sekali dijumpai penutur bahasa Jawa yang masih kental jawanya. Hal tersebut dapat ditelaah di lingkungan sekitar, di era sekarang juga jarang ditemui orang dengan usia lanjut yang berbicara dengan bahasa Jawa pada generasi milenial, meskipun pada kaum sebaya, mereka masih kerap berbahasa Jawa. Hal ini tentunya akan memicu kepunahan bahasa Jawa apabila mereka selaku penutur yang paham bahasa Jawa meninggal.


            Faktor kedua yang mendasari perkara di atas adalah kurangnya pembiasaan. Dalam mempelajari sebuah bahasa, tentu yang dibutuhkan adalah pembiasaan. Namun, pada kurun waktu saat ini, di lingkungan keluarga saja sudah jarang menggunakan bahasa Jawa. Berbeda dengan zaman dulu, di mana orang tua berinteraksi dengan anak menggunakan bahasa Jawa, mereka juga mengajarkan anak untuk berbahasa Jawa krama inggil ketika berbicara dengan yang lebih tua, akan tetapi di zaman sekarang, orang tua lebih memilih berkomunikasi dengan anak menggunakan bahasa Indonesia dan mengajarkan bahasa Indonesia kepada anaknya sehingga anak lebih terlatih menggunakan bahasa Indonesia yang dianggap lebih sopan. Kejadian ini tentunya menyebabkan generasi milenial sebagai ahli waris dari sebuah bahasa, kesulitan untuk memahami bahasanya, apalagi Bahasa Jawa dapat diklasifikasikan sebagai bahasa yang sulit karena memiliki tingkatan bahasa dan memiliki kosakata yang berbeda di setiap daerah.


            Selain dari lingkungan keluarga, kurangnya pembiasaan berbahasa jawa dapat dilihat dari lingkup pendidikan formal. Saat ini, di sekolah-sekolah para pendidik jarang sekali menggunakan bahasa Jawa, terutama dalam situasi formal, bahkan pada beberapa sekolah, mata pelajaran Bahasa Jawa pun telah hirap dari muatan lokal. Alasannya simpel, tidak semua peserta didik adalah anak yang berasal dari daerah Jawa. Namun, alasan simpel yang mendasari kurangnya pembiasaan berbahasa jawa di lingkup pendidikan formal ini, menjadikan bahasa Jawa semakin asing didengar oleh peserta didik. Akibatnya, mereka akan kesulitan jika diminta untuk berbicara dengan bahasa Jawa guna melestarikan bahasa yang merupakan warisan budaya ini.


            Faktor ketiga yang menjadi akar dari permasalahan eksistensi bahasa Jawa adalah pola pikir anak-anak dan remaja zaman sekarang yang cenderung menganggap bahasa Jawa itu kuno, udik, dan sulit. Pada faktor kali ini yang perlu diperhatikan ada dua hal, pertama terkait pembiasaan dan pendidikan dari sekitar mengenai Bahasa Jawa, dan yang kedua terkait pola pikir dari kaum milenial itu sendiri. Namun, yang perlu diingat bahwa pola pikir seseorang cenderung dipengaruhi dari interaksi sosial di sekitar. Jika dalam lingkungan sekitarnya saja, seseorang cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing yang dianggap keren, bagaimana seseorang bisa berpikir akan bahasa daerahnya? Belum lagi, dampak dari digitalisasi yang salah satunya adalah sosial media, di mana seseorang dapat berinteraksi tanpa batas menelusuri setiap inci dunia hanya dengan sekali klik. Tentunya hal ini juga dapat membangun pola pikir yang buruk pada bahasa dan budaya jika tidak dipilah dengan baik.


            Selanjutnya, mengenai bahasa Jawa yang dianggap sulit untuk dipelajari. Memang, bagi beberapa orang, bahasa Jawa merupakan bahasa yang cukup sulit karena tingkatan bahasanya yang cukup banyak (ngoko, krama, dan krama inggil), dan karena perbedaan arti kosakata di daerah yang berbeda. Anggapan ini dapat ditelaah dari beberapa kaum milenial yang lebih memilih berbicara dengan bahasa Indonesia hanya karena takut salah dalam menggunakan bahasa Jawa.


            Perihal-perihal yang sudah dijabarkan di atas, tentunya akan mengurangi eksistensi bahasa Jawa di era digitalisasi ini, bahkan bisa jadi juga menjadikan bahasa Jawa semakin terkikis, lalu punah. Sehingga, sangat diperlukan tindakan untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Adapun tindakan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

1.     Mengajarkan bahasa Jawa sejak dini kepada anak

Dapat dikatakan bahwa pendidikan pertama seorang anak adalah keluarga. Oleh karena itu, untuk mendidik anak mengenai bahasa yang merupakan salah satu budaya, tentunya diperlukan pengajaran sejak dini oleh keluarga, hal ini sesuai juga dengan psikologis anak yang mengatakan bahwa anak adalah peniru ulung. Sehingga, jika sejak kecil mereka sudah diajarkan bahasa Jawa yang baik, ketika dewasa mereka akan terbiasa menggunakan bahasa tersebut.


2.     Melakukan pembiasaan berbahasa Jawa ketika berbicara dengan seseorang yang berasal dari daerah yang sama

Seperti yang sudah dikatakan di atas, untuk mempelajari bahasa Jawa, sangat diperlukan pembiasaan, untuk itulah sangat penting bagi kita melakukan pembiasaa berbahasa Jawa dengan seseorang yang sedaerah. Tentunya, dengan memperhatikan kaidah tingkatan bahasa Jawa.


3.     Melakukan gerakan sosialisasi bahasa Jawa sebagai warisan budaya

Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah melakukan sosialisasi. Sosialisasi mengenai bahasa Jawa ini, dapat ditujukan pada semua kalangan. Pertama, kepada kalangan penutur bahasa Jawa diberikan sosialisasi agar mereka mau terus mengajarkan bahasa Jawa yang baik kepada kaum milenial, kedua pada kalangan milenial dapat diberikan sosialisasi entah melalui kegiatan masyarakat maupun kegiatan sekolah untuk memperbaiki pola pikir mereka terhadap bahasa Jawa sekaligus mengajarkan bahasa Jawa kepada mereka.


4.     Kembali memasukkan bahasa Jawa dalam pembelajaran di sekolah yang berada di daerah Jawa sekaligus memasukkan bahasa Jawa ke dalam kurikulum wajib (bukan muatan lokal)

Selanjutnya, langkah ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah dan pihak pendidikan formal. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat lebih serius dalam mempelajari bahasa Jawa yang merupakan bahasa ibu mereka.


5.     Dapat dilakukan gerakan wajib berbahasa Jawa dalam lingkup sekolah setiap beberapa kurun waktu

Gerakan wajib berbahasa Jawa dapat menjadi salah satu solusi lain untuk mengajarkan bahasa Jawa kepada peserta didik. Gerakan ini dapat dilakukan dengan mengadakan hari berbahasa Jawa dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, dalam seminggu sekali setiap hari Rabu, di sekolah A wajib menggunakan bahasa Jawa, mulai dari pendidik sampai peserta didik.


            Demikianlah hal-hal yang dapat dilakukan dalam membidik eksistensi bahasa Jawa di era Gen-Z untuk mencegah kepunahan bahasa Jawa. Dari sini, tentunya dapat ditelaah bahwa diperlukan peran dari setiap pihak dalam lapisan masyarakat untuk mencegah tersingkirnya keberadaan bahasa Jawa sebagai warisan budaya. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berperan dalam melakukan pengembangan dan pelestarian bahasa Jawa.


REFERENSI

https://uns.ac.id. Eksistensi Bahasa Jawa di Era Sekarang. 24 Maret 2021. 12:07 (Diakses pada 15 November 2022). Diakses dari https://uns.ac.id/id/uns-update/bagaimana-eksistensi-bahasa-jawa-kini.html/


https://dpad.jogjaprov.go.id. Telaah Pustaka Budaya Jawa “Bahasa Jawa dan Media: Sebuah Tantangan Zaman Now”. 09 Maret 2018 (Diakses pada 15 November 2022). Diakses dari https://dpad.jogjaprov.go.id/article/news/vieww/telaah-pustaka-budaya-jawa-bahasa-jawa-dan-media-sebuah-tantangan-zaman-now-1481/

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Musnah