[Cerpen] Menjemput Semi

 Menjemput Semi

Oleh: Adhelia Putri Chandra P.

10.00 WIB

Bel sebagai tanda istirahat berbunyi nyaring. Seluruh siswa MA Nurul Iman Surabaya berhamburan keluar kelas. Dari kejauhan, tampak segerombol siswa tengah berdiri di depan majalah dinding sekolah─berebut tempat untuk melihat pengumuman yang baru saja ditempel. Mereka tak lain adalah siswa yang telah mengikuti seleksi beasiswa beberapa minggu yang lalu.


Sama halnya seperti segerombol siswa itu, Aileen Azzahra─salah satu siswi MA Nurul Iman Surabaya yang mengikuti seleksi itu─berjalan antusias ke arah papan majalah dinding. Dalam hati, dia sangat berharap lolos dalam seleksi ini. Sebab, beasiswa ini yang akan menentukan dia lanjut sekolah atau tidak.


Aileen menyelip di antara kerumunan itu. Tubuhnya yang kecil seolah memudahkan gadis itu untuk sampai pada pengumuman yang terpajang di mading itu. Dengan segera, Aileen meniti satu demi satu nama yang ada dalam selembar kertas berjudul Siswa yang Lolos Seleksi Beasiswa MA Nurul Iman Surabaya. Sontak, senyum gadis itu memudar melihat namanya tidak tertulis di sana. Gadis itu kembali melihat satu per satu nama itu, berharap dia salah baca. Namun, nihil. Namanya tetap tidak ada di sana. Seketika gadis itu berjalan lesu keluar dari kerumunan itu.


“Bagaimana mungkin aku tidak lolos? Aku sudah melakukan semuanya, tapi ....” Mata Aileen berkaca-kaca mengingat semua usahanya tidak membuahkan hasil sama sekali. Gadis itu benar-benar terpukul dengan kegagalannya. Dia sudah berekspetasi akan lolos dalam seleksi ini.


“Bagaimana? Tidak lolos ‘kan? Sudah kubilang, tidak mungkin kamu lolos. Gadis miskin itu biasanya sepaket dengan bodoh. Sudahlah, keluar saja dari sekolah ini, kamu tidak akan sanggup membayar semua biayanya!” Aileen menoleh ke asal suara itu. Persis seperti yang dia duga, Revana Alisia─salah satu siswi yang membencinya─kini sudah berdiri di sampingnya dengan wajah meremehkan.


“Kasihan sekali, makanya terlahir itu jadi orang kaya." Revana menunjukkan senyum smirk tanda kemenangannya. Setelah melihat wajah Aileen yang dipenuhi kesedihan, gadis itu tertawa puas. Tak lama kemudian, dia pergi meninggalkan Aileen yang masih meratapi nasibnya.

Aileen menundukkan kepalanya. Perkataan dari Reva berhasil membuat hatinya terasa sakit. Tanpa sadar, gadis itu meneteskan air matanya. Apakah benar dia harus berhenti sekolah? Apakah benar kata Reva, orang miskin sepertinya tidak berhak bersekolah? Sial! Mengingat itu saja berhasil memperburuk suasana hati Aileen.


Aileen melihat ke arah belakang. Beberapa siswa yang berhasil lolos dalam seleksi itu tampak bahagia. Hal ini tentunya membuat gadis itu semakin terpukul, hingga dengan segera gadis itu melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana.

***

“Sudahlah, Nduk. Tidak usah sekolah lagi. Ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahmu, Nduk. Keluar saja dari sekolah itu dan menikahlah dengan majikan ibu, pasti kamu akan bahagia.” Begitulah kiranya kalimat yang diucapkan oleh Rini─ibu Aileen, beberapa waktu yang lalu saat Aileen mengatakan bahwa pihak sekolah sudah menagih tunggakan biayanya. Kalimat itu diucapkan dengan sangat lembut oleh Rini, tapi mampu mematahkan semangat Aileen.


Aileen membuang napasnya kasar. Mengingat semua itu saja sudah berhasil membuat dadanya sesak. Ditambah lagi dengan teguran baru dari kantor TU bahwa dia harus segera melunasi biaya maksimal tiga bulan ke depan. Jika tidak, dia akan dikeluarkan oleh sekolah.


“Nduk!” Tiba-tiba, sebuah suara yang begitu dikenal Aileen berhasil mengalihkan gadis itu dari lamunannya. Aileen tersenyum mendapati Rini tengah berdiri di sampingnya. 


“Ada apa, Bu?”

Bukannya menjawab pertanyaan Aileen, wanita paruh baya itu malah mengulas senyum di antara wajahnya yang keriput. Tak lama kemudian, dia ikut duduk di samping Aileen. Matanya menatap putrinya serius. 


“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nduk?” tanya Rini.

Aileen menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Perasaannya masih amburadul akibat pengumuman beasiswa tadi siang, dan kini dia harus menjelaskan kepada Rini bahwa dia tidak lolos pada seleksi beasiswa itu.


“Aileen gagal, Bu. Aileen tidak lolos dalam seleksi itu, dan sekali lagi Aileen mendapatkan teguran dari kantor TU untuk segera melunasi biaya sekolah Aileen,” ujar Aileen lesu.

    Rini tersenyum mendengar ucapan putrinya. Jujur saja, wanita paruh baya itu sangat senang jika nanti akhirnya Aileen putus sekolah, karena dengan itu Aileen akan menikah dengan majikannya, dan itu akan membawa keberuntungan untuknya. Tidak munafik, wanita paruh baya itu sudah lelah hidup susah dan harus membiayai sekolah Aileen.


“Itu artinya kamu harus menuruti kata ibu. Kamu harus menikah dengan majikan ibu agar hidup bahagia dengan kekayaan.” Rini berkata dengan wajahnya yang berseri-seri. Hal ini tentunya semakin membuat Aileen merasa sedih. Hatinya begitu tersayat mendengar kalimat yang diucapkan ibunya. Memang benar, kondisi ekonomi di keluarganya memburuk semenjak sang ayah meninggal. Namun, gadis itu tidak ingin hal ini menjadi alasan kenapa pendidikannya terhenti.


“Bagaimana bisa ibu mengatakan hal itu? Aku masih sangat muda, Bu. Aku baru tujuh belas tahun. Mana mungkin aku menikah apalagi dengan majikan ibu. Tidak, Bu. Aku masih ingin sekolah.” Aileen berkata dengan tegas. Bagaimana pun juga, gadis itu tidak ingin pendidikannya terhenti. Entah bagaimana caranya.


“Hei, jika bicara itu lihatlah situasi dan kondisi. Kamu itu bukan anak orang kaya! Jangan bermimpi setinggi itu! Lagi pula, kamu ini perempuan ‘kan? Untuk apa bersekolah tinggi-tinggi. Sudahlah, ikuti saja kata ibu. Pasti hidupmu enak!” Rini menatap Aileen dengan tatapan tidak suka. Wanita paruh baya itu termasuk ke dalam kategori kaum patriarki yang menentang keseteraan gender. Bagi Rini, tidak perlu wanita bersekolah tinggi-tinggi, toh nanti juga di dapur.


“Bu, aku ini madrasah pertama untuk anakku kelak. Untuk itu, aku harus berpendidikan, karena aku yang akan mendidik anakku,” tukas Aileen. Setelah mengucapkan itu, Aileen langsung bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar. Dia tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan ibunya, karena dia tahu melawan orang patriarki itu percuma.

***


Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Sepercik sinar matahari berhasil masuk ke dalam celah-celah jendela kelas XI IPS 5 MA Nurul Iman Surabaya. Saat ini, kondisi kelas itu sedang sangat ramai karena guru yang bertugas mengisi pelajaran tidak masuk. Aileen duduk seorang diri di bangku paling pojok sembari merenungi nasibnya. Hatinya terasa gundah memikirkan bagaimana nasibnya ke depan. Rini sudah tidak mau membiayai sekolahnya bahkan sudah memaksanya menikah dengan majikannya yang kaya. Dia sendiri juga gagal dalam mendapatkan beasiswa. 


Berkali-kali tampak Aileen menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar. Hal ini tentu saja menarik perhatian dari Nagita─sahabatnya.


“Ada apa, Ai? Kuperhatikan dari tadi, kamu terlihat risau. Ceritalah, siapa tahu aku bisa membantumu,” ujar Nagita.


Aileen menoleh ke arah Nagita. Wajah gadis itu tampak kacau dengan matanya yang menghitam. Bagaimana tidak? Masalah ini berhasil membuatnya terkena sindrom insomnia selama berhari-hari.


“Kamu tahu aku tidak lolos beasiswa, ‘kan?” tanya Aileen.

Nagita mengangguk. “Aku tahu, tapi apakah itu menjadi masalah yang besar untukmu, Ai? Bukankah kalah dan gagal itu wajar dalam sebuah perjuangan?”


Aileen mengulas senyum tipis. Baiklah, mungkin Nagita belum paham bahwa inti permasalahannya kali ini bukan pada kalah atau menang. Melainkan, biaya dari beasiswa itu tengah dia kejar.


“Bukan masalah gagalnya, Git. Aku tidak masalah gagal dalam sebuah ajang kompetisi. Namun, kali ini aku sangat menginginkan dan membutuhkan beasiswa itu. Kamu tahu ‘kan, ibuku tidak mampu lagi membayar sekolahku, dia bahkan memintaku menikah dengan majikannya saja. Itulah kenapa aku sangat mengincar kemenangan dalam seleksi beasiswa ini. Sayangnya, aku gagal mendapatkannya,” jelas Aileen.


Nagita mengangguk mengerti. Masalah ekonomi dan biaya sekolah bukan lagi permasalahan yang asing bagi siswa di MA Nurul Iman ini. Sudah banyak sekali siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu melunasi tanggungan sesuai waktu yang sudah ditentukan. 


“Oh, iya, aku tahu sesuatu! Semalam aku dapat kabar dari temanku bahwa dia mencari pengganti untuk menjaga stand paruh waktu. Barangkali kamu mau, aku bisa mengantarmu ke sana. Gajinya lumayan untuk menyicil tanggungan biayamu,” ujar Nagita.


Mata Aileen berbinar  mendengarkan penjelasan dari Nagita. Tampak sederhana, tapi mampu menjadi jalan keluar dari masalahnya sekarang. Bekerja paruh waktu sambil sekolah bukanlah hal yang buruk baginya. Aileen mengangguk dengan antusias. Gadis itu menyetujui saran dari Nagita.  

***


      “Baiklah, karena kita sedang butuh dan kamu memang sesuai dengan keinginan kami, kamu saya terima. Kamu bisa mulai bekerja besok sepulang sekolah.” Aileen tersenyum mendengar penuturan yang diutarakan oleh pria paruh baya di hadapannya. Gadis itu merasa lega setelah tahu bahwa lamarannya diterima. Setidaknya, setelah dua minggu bekerja, dia bisa menyicil tanggungan biaya sekolahnya.


     Ya, seperti yang sudah dijanjikan oleh Nagita, gadis itu mengantar Aileen menemui pemilik dari stand minuman yang sempat ditawarkan temannya. Di sana, Aileen langsung mengajukan lamaran dan diterima bekerja.


     “Selamat, ya, Ai. Semoga pekerjaanmu lancar! Oh, ya. Ngomong-ngomong selamat juga untuk kemenanganmu dalam lomba kepenulisan itu. Semoga ini menjadi awal baik untuk segala hal.” Nagita tersenyum kepada Aileen. Gadis itu merasa bangga dengan sahabatnya yang selalu mau bertahan dan berjuang untuk apa yang sudah dijadikan tujuan. Entah itu pendidikan, atau pun karir.


     "Terima kasih, Gi. Terima kasih sebab selalu ada di sisiku saat semua orang menjauhiku,” balas Aileen.

***


Waktu terus berlalu. Tak terasa ternyata sudah dua bulan Aileen bekerja di stand minuman. Banyak hal yang sudah dia pelajari selama dua bulan ini. Mulai dari caranya membagi waktu antara sekolah dan bekerja, cara untuk melayani pelanggan, hingga cara untuk cekatan dan teliti. Aileen sangat menikmati pekerjaannya meski terkadang dia merasa lelah karena waktu istirahatnya berkurang. Hal itu bukanlah masalah yang besar bagi Aileen. Namun, ada satu hal yang senantiasa mengganggunya, yakni sikap bosnya. Mungkin, wajar saja jika seorang bos berkunjung untuk melihat bagaimana usahanya berjalan di tangan bawahannya, akan tetapi kali ini sedikit berbeda. Bosnya berkunjung setiap waktu dan menggoda dirinya. Jika saja bukan demi pekerjaan untuk membayar sekolah, mungkin dia sudah mengeluarkan kalimat mutiaranya.


“Syukurlah. Hari ini aku akan gajian. Besok bisa menyicil biaya sekolahku lagi,” gumam Aileen setelah membereskan standnya.


Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Itu tandanya Aileen sudah bisa pulang. Namun, karena hari ini adalah saatnya dia menerima gaji, dia terpaksa menunggu bosnya sebentar.


Sesekali, Aileen tampak menggerutu ketika melirik jam di ponselnya. Ini sudah lewat satu jam semenjak jam yang dijanjikan oleh bosnya. Jujur saja, Aileen benci dengan keterlambatan apalagi jika hari sudah beranjak malam begini. 


“Lama sekali, Ya Tuhan!” Begitulah kiranya kalimat yang keluar dari mulut Aileen. Ini sudah malam. Dia takut jika harus pulang kemalaman dan mengalami kejadian seperti beberapa hari yang lalu saat dia dicegat beberapa pria hidung belang. Untung saja, ada beberapa warga yang menolongnya.


Tiba-tiba, tampak dari kejauhan seorang pria paruh baya berjalan menuju ke arah Aileen yang masih terduduk sambil cemberut. Pria itu tak lain adalah Reza─bos Aileen.


“Maaf, saya terlambat,” ujar pria itu.

Aileen hanya mengangguk sebagai balasan. Sebenarnya, gadis itu sangat ingin marah kepada Reza. Namun, dia masih sadar diri untuk melakukan itu.


“Ini gajimu.” Reza menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat kepada Aileen. Laki-laki itu menatap Aileen dengan tatapan yang tajam, tidak seperti biasanya.


“Sekaligus pesangonmu. Mulai hari ini kamu saya pecat!” Kalimat itu seperti petir yang menyambar dada Aileen. Tanggungan untuk pendidikannya masih banyak dan dia dipecat? Apa yang akan terjadi? 


“Tunggu, memang saya salah apa?” tanya Aileen kebingungan.


“Tidak ada yang salah, tapi perusahaan kami mengubah aturan, bahwa karyawan di sini minimal harus memiliki ijazah SMA, karena kami tidak ingin terkena pelanggaran atas eksploitasi anak," jelas Reza.


"Namun, saya bekerja di sini atas keinginan saya, Pak. Saya rasa tidak ada yang mengeskploitasi saya di sini," balas Aileen.


"Maaf, Aileen. Harus saya katakan kinerjamu sangat baik, tapi bagaimana pun kamu masih berada di bawah umur, dan kami tidak ingin menanggung risiko atas itu," tukas Reza.

Mendengar itu, Aileen mengembuskan napasnya kasar. Matanya berkaca-kaca melihat amplop cokelat di tangannya. Uang itu masih kurang untuk membayar semua tunggakan sekolahnya dan hari ini ia sudah kehilangan pekerjaannya. 


"Kamu bisa pulang sekarang, Leen." Suara dari Reza berhasil mengagetkan Aileen. Dengan berat hati, gadis itu melangkahkan kakinya keluar.

"Sekeras ini kah hidup bagi kami yang tidak mampu, Tuhan?" bisik Aileen lirih.

***

“Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Nduk? Lancar? Sudah gajian ‘kan? Ibu minta dong!” Baru saja masuk ke dalam rumah, gadis itu sudah diserbu oleh pertanyaan ibunya. Sekali lagi, Aileen mengembuskan napasnya kasar. Kemudian berkata, “Maaf, Bu. Aku dipecat. Aku dapat gaji sekaligus pesangon hanya dua juta sedangkan sekolahku masih kurang lima juta.”


Rini tersenyum puas melihat anaknya kembali menemui kegagalan dalam memperjuangkan biaya pendidikannya. Dia sangat senang jika anaknya sampai putus sekolah, karena baginya dengan Aileen putus sekolah, maka akan sangat mudah menikahkan Aileen dengan majikannya yang kaya raya.


“Bagus dong! Kalau begitu kamu besok ajukan pengunduran diri dari sekolah, lalu kita atur pernikahanmu dengan majikan ibu. Biar kita hidup enak!” Begitulah kalimat tidak tahu malu yang keluar dari mulut Rini. Wanita paruh baya itu tampak sangat girang hanya dengan membayangkan bagaimana dia bisa hidup mewah setelah Aileen menikah dengan majikannya.


“Tidak, Bu! Tidak akan pernah aku menuruti permintaan gila itu! Pendidikanku akan tetap kuperjuangkan  bagaimana pun caranya!” sentak Aileen.


“Heh! Tidakkah kamu mengerti bagaimana kondisi kita? Mau berjuang dengan apa lagi? Beasiswa kamu gagal, bekerja juga gagal. Sudahlah, perempuan itu tidak pantas tinggi-tinggi bermimpi,” balas Rini dengan nada yang lembut. Namun, meski dengan nada yang lembut, kalimat itu berhasil membuat Aileen down.


Tak ingin lebih lama lagi berdebat, Aileen segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Di dalam kamar, gadis itu langsung menangis sejadi-jadinya. Hatinya terasa begitu pilu dengan semua kenyataan ini. Katakanlah, Aileen berlebihan. Namun, kenyataan kali ini benar-benar membuatnya lelah. Memikirkan bagaimana dia harus mempertahankan pendidikannya setelah ini, cukup membuat kepalanya terasa hendak meladak. Ditambah lagi dengan ibunya yang terus memaksa gadis itu menikah dengan majikannya. Sungguh perpaduan yang melelahkan.


“Apa aku harus menyerah sekarang, Tuhan? Haruskah aku menuruti perkataan ibu untuk menikah saja? Tapi aku tidak menginginkannya, Tuhan. Sungguh! Aku ingin melanjutkan pendidikanku, aku ingin meraih cita-citaku.” Begitulah kiranya kalimat yang diucapkan Aileen dalam tangisnya. Gadis itu merasa tidak tahu harus berbuat apa malam ini. Hatinya terasa tersayat setiap mengingat bagaimana ibunya menentang dirinya melanjutkan sekolah dengan alasan biaya, bahkan lebih parahnya, wanita paruh baya itu menyuruhnya menikah hanya demi harta.


Aileen terus menangis dalam heningnya malam. Gadis itu meluapkan segala rasa sakit yang selama ini dia pendam sendirian, semua beban yang harus dia pikul seorang diri, dan seluruh air mata yang selama ini dia tahan.

***


09.00 WIB

Aileen menatap kosong papan tulis yang berisikan rumus perhitungan pajak di hadapannya. Pikiran gadis itu tidak lagi ada dalam kelas ini, seperti pikiran teman-temannya, melainkan melayang-layang pada sebuah kenyataan yang harus dia hadapi setelah ini. 


Hari ini adalah terakhir pelunasan biaya sekolah dan Aileen gagal melunasinya. Dengan sengat terpaksa dia harus mengikuti salah satu perintah ibunya yakni mengundurkan diri dari sekolah. Ingat, hanya keluar dari sekolah, tidak untuk menikah.


Aileen sudah benar-benar menyerah dan kehilangan arah. Dia tidak tahu lagi usaha apa yang harus dia lakukan untuk mempertahankan pendidikan. Dia sudah mencoba berbicara dengan guru BK mengenai beberapa prestasinya, berharap mendapatkan beasiswa setidaknya tambahan waktu beberapa bulan ke depan. Namun, hingga saat ini dia tidak mendapatkan informasi apa pun. Baiklah, sepertinya memang sudah waktunya keluar dari sekolah swasta ini.


“Panggilan ditujukan kepada Aileen Azzahra dari kelas sebelas IPS 5, diharapkan mendatangi ruang BK sekarang.” Speaker yang ada di ruang kelas Aileen berbunyi nyaring. Hal ini berhasil menyadarkan Aileen dari lamunannya. Gadis itu dengan segera bangkit dari duduknya dan meminta izin kepada guru yang sedang mengajar untuk mendatangi panggilan tersebut. Aileen tidak mengerti kenapa dia dipanggil ke ruang BK. Namun, secercah harapan muncul dalam hatinya meski sedikit kemungkinan dia akan mendapatkan apresiasi dari sekolahnya.


Aileen terus berjalan menyusuri lorong kelas dengan pikiran yang menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya. Hingga tanpa sadar, dia sudah tiba di depan ruang BK. Aileen menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu dan mendapatkan izin untuk masuk ke ruangan tersebut.


“Ada apa, Pak? Mengapa saya dipanggil ke sini?” tanya Aileen sembari duduk di kursi yang memang dikhususkan untuk siswa.


Pak Hari yang tak lain adalah guru BK di MA Nurul Iman itu tersenyum, kemudian berkata, “Sebelumnya saya ucapkan selamat atas prestasimu, Nduk. Kamu luar biasa, secara akademik kamu memang tidak terlalu pandai, tapi siapa sangka di balik itu kamu punya potensi yang luar biasa. Saya memanggilmu ke sini hanya untuk memberikan informasi bahwa pengajuan beasiswa melalui jalur prestasi yang kamu ajukan kami terima! Sekarang, kamu tidak perlu lagi melunasi apa pun. Selamat dan semangat!”


Mendengar informasi itu, mata Aileen berbinar. Wajahnya yang tadi kusut, mendadak dipenuhi raut kebahagiaan. Gadis itu sontak menyalami Pak Hari selaku guru BK-nya. Matanya berkaca-kaca sebagai tanda bahagia. Setelah berbagai kegagalan yang membuatnya hampir menyerah, saat ini dia berhasil mendapatkan tujuannya.


“Terima kasih, Pak,” ucap Aileen sopan.

“Terima kasih, Ya Allah. Anugerah-Mu sungguh luar biasa,”  lanjut Aileen dalam hati. Aileen tidak tahu lagi bagaimana caranya mengungkapkan rasa syukurnya. Dia benar-benar merasa beruntung saat ini. Memang benar, bahwa Tuhan tidak pernah menutup kemungkinan bagi orang yang senantiasa mau berusaha memperbaiki hidupnya. Ketika Tuhan memberikan kita kegagalan di satu tempat, Tuhan pasti memberikan keberhasilan di tempat lain. Itulah yang Aileen pelajari sekarang. Dia gagal mempertahankan pendidikannya melalui seleksi akademik beasiswa, kemudian digagalkan lagi dengan pekerjaan, tapi pada akhirnya Tuhan memberikan dia keberhasilan melalui pengajuan beasiswa lewat jalur prestasi. Inilah yang disebut sebagai satu pintu tertutup, masih ada pintu lainnya yang terbuka.

***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Musnah

Essai: Membidik Eksistensi Bahasa Jawa di Era Gen-Z