Cerpen: Kubangan

 

Kubangan

Oleh: Adhelia Putri Chandra P.

***

“Tak seorang pun yang ingin jatuh ke dalam sebuah kubangan. Namun, bila kepedihan adalah takdir yang telah Tuhan gariskan, maka siapa yang mampu melawannya?”

-Edelweiss Maheswari dalam Cerpen “Kubangan" oleh Adhelia Putri Chandra P.

***

            Langit dipeluk gelap saat tetes terakhir dari sebotol arak di tanganku mengalir melewati kerongkongan. Ingatan akan kejadian itu kembali berlari di dalam sesak kepala. Ia bertabrakan dengan hal lain yang kemudian menyakitiku tanpa ampun, membuat setiap inci dari tubuh ini bergemuruh, menyuarakan lara yang bersembunyi di balik daging-daging tak suci yang lahir dalam sebuah kubangan, lalu tumbuh besar dengan minum cairan kegelapan.


            Di atas sana, tampak lampu diskotek menjelma bintang−ia berkedip manja pada para manusia jahanam, termasuk aku. Rupanya, suara musik yang disetel keras juga ikut merayu tubuh untuk ikut berdansa ria bersama lautan pelacur dan barisan pria hidung belang yang tengah mendesah mencari kepuasan.


Aku berpikir sejenak, menimang semua aroma dosa yang telah terhirup sejak kejadian itu. Tak lama kemudian, satu bibirku terangkat sebelum kaki melangkah; menerobos masuk ke dalam celah baris pendosa yang merundung hidupnya dalam kegelapan.


            Hahaha! Hidup memang keparat dan dunia malam adalah rumah paling indah. Menarilah, menarilah, dan terus menarilah hingga hidup ikut menari di atas kebodohan yang memberi karma pada diri sendiri atas dosa orang lain!” Kudengar kalimat itu kembali hidup. Ia menjelma serdadu yang tengah berperang melawan nurani dan akal sehat hingga mereka mati kelabakan. Menyisakan kegilaan pada jiwa yang nyaris tiada dalam raga yang masih berjalan tegak di atas kesialan dunia.


            Aku menarik napas panjang sebelum membiarkan kejadian satu tahun lalu merenggut seluruh ruang di otakku, membiarkan ia menjadi senjata pembenaran atas tindak bejat yang kemarin, hari ini, esok hari, bahkan mungkin selamanya kulakukan.

***

Sepercik cahaya matahari berhasil menerobos ke dalam sela jendela kamar hotel dengan dekorasi minimalis ini. Ia begitu sialan sebab berhasil mengacaukan tidurku yang nyenyak. Setelah melakukan peregangan pada beberapa bagian tubuh, aku melirik ponsel yang tergeletak di nakas. Di sebelahnya, terdapat sekitar sepuluh lembar uang seratus ribuan yang bila kutebak, itu adalah peninggalan seseorang yang meniduriku semalam.


Untuk beberapa saat, aku melirik ke balik selimut. Satu tetes air mata turun melihat tubuh ini telanjang usai dijamah oleh laki-laki hidung belang semalam. Rasanya sakit saat menyadari diri ini begitu hina. Namun, dengan cepat kuhapus air mata sialan yang menjadi pertanda kecengengan kali ini.


“Hidup ini pilihan dan aku telah memilih hidup seperti ini. Sangat bodoh dan memalukan seseorang yang menangisi pilihannya sendiri,” gumamku sembari meraih ponsel di nakas lalu dengan cepat menelepon Arka, kekasihku.


“Jemput aku di hotel Mawar sekarang.” Hanya itulah kalimat yang mampu kuucapkan saat suara Arka terdengar menyapa. Tak lama kemudian, aku mengakhiri panggilan tersebut tanpa menunggu jawaban darinya. Katakanlah ini sebuah kebangsatan, tapi daripada harus mendengar kekasihku mengomel dan mendramatisir keadaan di telepon, lebih baik ditutup saja ‘kan?


***


            “Siapa yang menjamah tubuhmu malam ini?” Kalimat itu seperti sebuah bumerang yang senantiasa berputar setiap pagi; setiap kali kebejatan terlaksana di tengah hunusan dewi malam dan aku terdiam menikmatinya. Setiap kali Arka menghirup aroma dosa bercampur riak alkohol yang memenuhi tubuh hina--yang telah hidup dari menyusu peju laki-laki mata keranjang yang mana otaknya hanya berisi selangkangan, dan setiap kali dadaku menggelantung tanpa bra di balik kaos yang menutup sisa dosa. Pertanyaan itu sudah seperti sebuah rutinitas yang selalu dilontarkan Arka setiap pagi; setiap ia menjemputku di hotel usai melakukan pekerjaan sebagai seorang pelacur.


            “Seorang laki-laki yang cukup gila selangkangan tentunya,” jawabku sembari menarik senyum simpul.


            “Berhentilah melakukan pekerjaan ini. Jika tidak demi kau, lakukan demi aku, jika tidak demi aku maka lakukan demi norma yang sudah diajarkan orang tuamu dan demi Tuhan yang mengajarkan agama agar kau tidak dibutakan dosa,” tutur Arka.


            Mendengarnya, satu sudut bibirku terangkat. “Tidak ada norma dan agama bagi mereka yang nuraninya telah dikutuk mati oleh semesta,” jawabku seraya tersenyum angkuh.


            “Dan kau bukan golongan dari mereka, Edelweiss. Nuranimu masih abadi, sebagaimana aroma bunga edelweiss hidup dan mengabadikan diri; ia abadi sebagaimana namamu, Del.” Arka menatapku dalam. Mungkin sudah seribu kali ia mengutarakan kalimat persuasif agar aku berhenti menjadi gila. Namun, ingar bingar dendam terlalu membara hingga bujukan kekasihku sama sekali tidak berguna.


            “Maaf, nuraniku sudah sekarat sejak ayahmu dan punggawanya menyetubuhiku sedang kau diam mematung seperti mayat,” ujarku sambil menatap matanya, “dan ia menjadi mati saat ayah ibu mengusirku, menyebut anaknya ini sebagai pelacur, lalu menyebarkan berita yang membuat siapa saja memandang hina aku.”


            “Ya, namaku memang Edelweiss, aku mungkin bunga yang menguakkan keabadian. Sayangnya, keabadian itu bukanlah keabadian yang wangi, melainkan keabadian dalam menghirup aroma tai.”


            “Menghukum diri sendiri atas dosa orang lain adalah kebodohan, Del.” Arka belum menyerah. Laki-laki itu masih berusaha membujukku untuk keluar dari lubang hitam, tempat di mana aku tinggal. Namun, sangat disayangkan. Rasa sakit masih menjadi momok yang membuatku lapar akan ketenangan.


            “Dan membiarkan seorang perempuan yang suci digilir dua punggawa ayahmu juga kebodohan, Tuan.” Lagi-lagi, tak kubiarkan ia lolos dari rasa bersalah atas kepelacuranku. Lagi-lagi kuingatkan ia pada kesalahan fatal yang menjadikanku jalang. Katakanlah aku ini bajingan. Namun, bagaimana lagi, hidup telah merenggut nurani lalu menggantinya dengan jiwa yang cacat.


        Aku ingat bagaimana malam itu aku digilir di hadapan Arka, sedang Arka hanya diam. Aku masih ingat bagaimana benda itu menerobos kehormatan yang  selama ini terjaga kemudian menjadikanku terbuang. Aku masih ingat semuanya, saat di mana kesakitan terbesar adalah jatuhnya mahkota dar kepala seorang wanita.


            “Terserah padamu. Aku sudah mengingatkan agar kau keluar dari tempat kotor itu, tapi ternyata hingga hari ini aku masih tak memiliki harga bagimu. Ternyata dendam dan rasa sakit itu bahkan jauh lebih penting dibanding membebaskan aku dari duka tiap kali kaupulang dengan aroma dosa,” tukas Arka.


            “Pekerjaanku memang kotor, tapi setidaknya aku tidak mengotori orang lain dengan paksa lalu menjadikan dia pelacur sebagaimana yang dilakukan ayahmu dan punggawanya.” Aku menarik napas panjang. Kesakitan memenuhi pangkal dada yang mengembuskan cedera, ia merengkuh erat setiap udara yang masuk hingga sesak menggelincir di dalam sana.


            “Aku memang selalu pulang dengan aroma dosa yang memenuhi ubun-ubun kemaksiatan, tapi setidaknya aku tidak mengunci seseorang pada kehinaan hingga ia memutuskan hidup dalam kubangan yang hitam.”


            “Tuan, katakanlah aku ini bajingan sebab menjeratmu dalam kawah kepedihan yang terus menawarkan lahar duka pada kepulangannya. Namun, setidaknya dalam keputusasaan yang menjadikanku jalang dan menanggalkan pakaian di hadapan pria yang haus selangkangan, aku tak menjadikan seseorang kejam hingga membunuh apa yang ada dalam nuraninya, termasuk Tuhan yang telah ia percaya.”


        Aku mengakhiri kalimat itu dengan satu napas panjang untuk menahan air mata agar tak luruh di sana. Hingga selanjutnya, tak ada lagi bising percakapan terdengar. Arka memilih fokus menerobos kemacetan sedang aku memilih mengalihkan rasa sakit dari setiap duka yang memandikan hati hingga ia menjadi hitam legam, layaknya disiram air got yang telah dipenuhi kotoran sapi.

***

            Kamar kos yang sunyi adalah tempat terbaik untuk berdamai dengan diri. Ah, sekalipun damai hanya ada pada kamus kosakata, tapi setidaknya ketenangan sejenak dapat kurasakan dalam pelukan tembok dan dengkuran kipas angin. Namun, ia terusik saat ingatanku melayang pada percakapan dengan Arka tadi pagi. Sebuah percakapan yang selalu saja terjadi setiap ia menjemputku sepulang melacur.


            “Andai saja hari itu kau bersuara, mungkin aku bukanlah wanita hina hari ini, Arka,” gumamku pelan saat mengingat bagaimana mahkotaku dijatuhkan dan sialnya tidak satu pun orang yang membela, “Aku telah masuk ke dalam penjara yang lusuh sejak hari itu dan sebuah tindakan bodoh jika hari ini aku menyucikan diri dari dosa-dosa yang telah lama tumbuh dalam jiwa.”


“Tak ada satu pun manusia yang ingin hidup dalam sebuah kubangan yang lusuh, apalagi harus menumbuhkan daging dengan menyusu pada air kotornya. Namun, hidup adalah sebuah ketetapan, jika arus ketetapan yang diberi adalah sebuah garis hitam, maka aku bisa apa? Aku sendiri juga tak ingin menjadi pelacur yang bahkan tampak hina di mata siapa saja, tapi hidup telah menjadikanku pelacur bahkan sejak sebelum aku ingin,” gumamku.


“Pembenaran yang konyol memang, tapi itulah hidup  Terlalu bajingan untuk siapa saja yang haus kesucian.” Lagi-lagi aku mengakhiri sesi monolog  dengan air mata tertahan. Lagi-lagi kebodohan menggeliat manja, ia seperti anak-anak dengan ego yang tinggi, yang mana setiap inginnya harus dituruti.


Dan lagi-lagi, aku tak berdaya di hadapan keputusasaan yang menjadikanku jalang tak bermoral.”

***

TAMAT

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Cerpen] Musnah

Essai: Membidik Eksistensi Bahasa Jawa di Era Gen-Z